PADA Agustus 2017, Presiden Donald Trump menandatangani Countering America’s Adversaries Through Sanction Act (CAATSA). Undang-undang tersebut ditujukan untuk menjatuhkan sanksi terhadap program nuklir Iran, membatasi senjata pemusnah massal Korea Utara serta mengurangi pengaruh Russia di Eropa dan Eurasia. Undang-undang tersebut juga dapat dikenakan terhadap negara-negara yang terlibat dalam “significant transaction” dengan ketiga negara tersebut, terutama dalam pembelian peralatan militer.
Beberapa negara berkembang yang ingin meningkatkan kapabilitas militernya, harus berpikir ulang untuk membeli persenjataan dari Rusia, karena Amerika Serikat (AS) dapat menggunakan CAATSA guna menjatuhkan sanksi terhadap mereka.
Di pasar pertahanan global, negara-negera berkembang mengandalkan persenjataan milik Rusia karena harga yang ditawarkan lebih rendah dan memiliki teknologi yang tak kalah canggihnya. Dalam beberapa tahun terakhir, kita melihat banyak negara berkembang membeli peralatan militer canggih seperti pesawat tempur Su-35 dan sistem rudal S-400 untuk memenuhi kebutuhan negara mereka.
Negara-negara yang ingin memodernisasi persenjataan militernya seperti Turki, India, Mesir, dan Indonesia terancam terkena sanksi oleh AS. Kasus yang dialami oleh negara-negara tersebut, berbeda satu dengan lainnya, ketika AS mencoba memberikan sanksi dengan menggunakan CAATSA.
Turki
Turki dijatuhi sanksi oleh AS ketika membeli S-400 pada tahun 2019. Pada 14 December 2020, pemerintah AS memberlakukan beberapa sanksi terhadap pada pertahanan Turki (SSB), seperti: Larangan pemberian lisensi eksport AS tertentu dan otorisasi untuk barang atau teknologi apapun; Melarang pinjaman atau kredit oleh lembaga keuangan AS dengan total lebih dari $10 juta dalam periode 12 bulan; Sanksi pemblokiran visa terhadap beberapa pejabat SSB. Selain itu, AS juga mencabut akses Turki untuk membeli F-35. Terlepas dari keaktifan Turki sebagai anggota NATO di Mediterania dan Timur Tengah, sanksi AS tetap ditegakkan. AS beranggapan bahwa pembelian S-400 oleh Turki dapat menimbulkan ancaman bagi NATO maupun negara-negara yang mengoperasikan F-35.
India
Pengiriman sistem S-400 telah dimulai sejak Desember tahun lalu. Amerika sampai sekarang masih memperdebatkan apakah akan memberikan sanski kepada India atau tidak, mengingat bahwa India adalah salah satu “Major Defence Partner” dari AS. Pengadaan S-400 oleh India merupakan respon untuk mencegah ancaman dari Pakistan maupun China. India telah memesan 5 batalion S-400 pada tahun 2018, dan batalion pertama sistem rudal S-400 telah ditempatkan di sektor Punjab. Hubungan India dengan China dan Pakistan yang memburuk tiap tahunnya, membuat India memutuskan untuk menambahkan kapabilitas pertahanan mereka.
Mesir
Mesir bersedia mengambil resiko meski telah diberikan peringatan sebelumnya. Pada Oktober 2013, AS memberhentikan sementara pengiriman barang-barang militernya ke Mesir. Hal ini disebabkan kekecewaan AS terhadap pelanggaran HAM yang dilakukan militer Mesir terhadap Muslim Brotherhood. Respon Mesir terhadap pemberhentian tersebut adalah dengan melakukan diversifikasi untuk counter-balance ketergantungan mereka terhadap perlengkapan militer AS. Melihat military build-up yang dilakukan oleh Mesir dapat mengancam Israel dan stabilitas di Timur Tengah, AS berulang kali menolak memberikan akses Mesir untuk mendapatkan peralatan militer kelas 1 milik AS.
Indonesia
Indonesia sedang memodernisasi persenjataan mereka yang tercakup dalam kebijakan MEF (Minimum Essential Force), termasuk peremajaan pesawat militer melalui pembelian jet tempur baru. Bukan rahasia bahwa Indonesia sedang bernegosiasi dengan beberapa negara tentang masalah ini termasuk dengan AS, Prancis, dan Rusia. Sejak tahun 2016, Indonesia berusaha membeli 16 unit Su-35 dari Rusia untuk menggantikan 14 F-5E/F Northtrop yang dipensiunkan pada tahun yang sama. Setelah mengalami negosiasi yang panjang, Moskow setuju untuk memasok 11 unit Su-35. Akan tetapi, pada akhir tahun 2021, Indonesia menyatakan mundur dari kesepatakan tersebut karena ancaman sanksi di bawah CAATSA.
Su-35 adalah pilihan yang bagus bagi Indonesia mengingat pesawat tersebut lebih murah dan bisa mencakup jangkauan yang lebih jauh daripada pesaingnya. Pada saat ini, Indonesia memliki opsi yang terbatas antara F-15/EX atau Rafale. Opsi tersebut bukanlah opsi yang terbaik atau yang terburuk bagi Indonesia, mengingat kebutuhan Indonesia untuk meremajakan pesawat tempur sangat penting bagi TNI AU dalam menjaga keutuhan NKRI.
Ketentuan CAATSA, termasuk sanksi yang menargetkan sektor pertahanan dan intelijen Rusia, menjadikan produk hukum tersebut, sebagai alat AS untuk mencegah pembelian senjata dan teknologi Rusia di seluruh dunia. Undang-undang itu memberikan wewenang pada pemerintah AS untuk menjatuhkan sanski pada negara-negara yang membeli major defence hardware dari Rusia. CAATSA juga menjadi alat AS untuk membatasi influence Russia di pasar pertahanan global. Ironisnya, AS ingin mempromosikan negaranya sebagai beacon of freedom, namun persepsi tersebut melemah setiap kali mereka menggunakan CAATSA terhadap negara-negara berkembang. (***)
Penulis : Widitusha Winduhiswara, Head of Strategic and Academic Development of Indonesia-Russia Youth Association (IRYA). Master Student of People’s Friendship University of Russia (RUDN), Moscow.
Komentar