Jokowi dan Keamanan Ontologis

Features3928 Dilihat

Sejatinya demokrasi harus bisa menjamin warga negaranya untuk bebas dari rasa takut. Jika demokrasi membuat masyarakat justru merasa berada dalam situasi tak aman, maka segenap elit politik harus mengevaluasi kaitan antara hasil pemilu, sikap dewasa berdemokrasi, dengan rasa aman ini.

Dalam konteks warga negara, isu keamanan manusia (human security) ini, tak hanya berarti pemerintah mampu memenuhi kebutuhan dasar warganya, tetapi juga terwujudnya harkat dan martabat setiap insan manusia yang menjadi warga negara.

Demokrasi dan Kedisiplinan Negara harus menjamin bahwa warga negara tak hanya bebas dengan ekspresi politiknya, tapi juga bebas dari ancaman persekusi kelompok lain, terutama persekusi oleh lawan politik, oleh kelompok intoleran yang menjadi basis pemilih tokoh tertentu, partai tertentu, dan/atau golongan tertentu.

Jika semangat pemiihan langsung di berbagai tingkat (Pemilu, Pilpres, Pilkada) dimaksudkan untuk melatih dan mendewasakan warga negara terhadap praktek demokrasi, maka belajar dari kasus ini: pertama, masyarakat Indonesia tak mendapatkan pembelajaran demokrasi yang benar, yang diidamkan. Sebaliknya masyarakat semakin terbelah dengan konflik yang mungkin akan semakin meruncing, akibat pendekatan primordialisme pada setiap tahapan pemilihan langsung.

Kedua, tak ada komitmen dari tokoh politik, kandidat politik, maupun partai politik untuk setia beradu gagasan, bukan beradu pendekatan primordialisme, terutama menonjolkan agama sebagai yang utama. Seharusnya kandidat beradu program kerakyatan yang berdasar pada kebutuhan masyarakat, bukan berlomba menjadi sosok relijius pada saat pesta demokrasi digelar.

Kebutuhan agar Jokowi menjadi Presiden lebih dari 2 kali masa jabatan sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang menyiratkan ada yang salah dengan cara elit politik mempertontonkan praktek demokrasi.
Menyitir Muhammad AS Hikam, bahwa salah satu pemahaman tentang demokrasi yang paling keliru adalah menganggap sistem tersebut tak memerlukan kedisiplinan tinggi.

Sebuah kesalahan jika demokrasi berarti bebas dan bisa melakukan apa saja atas nama kebebasan (freedom) dan hak (rights). Perilaku tersebut justru bisa merusak demokrasi.

Karunia terbesar dalam demokrasi adalah adanya kebebasan. Namun kebebasan itu justru untuk mendisiplinkan diri sendiri (Bernard Baruch).

Jika kita bersepakat untuk menjunjung tinggi demokrasi, kita juga harus bisa bersepakat mendisiplinkan diri untuk tak bermain politik uang, termasuk menjadikan primordialisme dan politisasi agama sebagai alat menggapai kuasa.

(*)
Joaquim Rohi,
Political Science RUDN University, Moscow, Russia.

Baca Juga :  Produk Lokal dan Jenis Lokal
Baca Juga :  Sanksi Penolak Vaksin

Komentar