Surat dari Moskow, Menangkal Aktivitas China di Laut Indonesia

Features1269 Dilihat

DALAM  kurun waktu dua  tahun, beberapa gliders bawah laut atau drone bawah laut atau Unmanned Underwater Vehicle (UUV) miliki China dengan sebutan “Sea Wing” atau Haiyi ditemukan di dalam teritori perairan Indonesia. 12 Februari 2019 di Bangka, 23 Maret di Kepulauan Riau, 22 January 2020 di Masalembu, dan yang terakhir pada 20 Desember di kepulauan Selayar.

Kejadian UUV kepulauan Selayar menimbulkan banyak pertanyaan seperti: Apa tujuan dari UUV tersebut? Apakah UUV ini berbahaya bagi Indonesia? Apakah ini termasuk tindakan espionase atau keperluan scientific?   Pada awalnya, UUV dikembangkan untuk keperluan militer, namun dalam beberapa tahun belakangan ini, UUV dianggap sebagai alat untuk keperluan penelitian ilmiah kelautan.

UUV dianggap sebagai salah satu breakthroughdalam teknologi kelautan. Walaupun teknologi tersebut masih terbatas, namun banyak negara yang menghabiskan pendaan militer mereka untuk menyempurnakan teknologi ini.  Pada tahun 2016 silam, nelayan China menemukan glider milik Angkatan laut Amerika Serikat di perairan laut China Selatan. Glider tersebut dikembalikan setelah adanya diplomasi antar kedua negara tersebut.

Event ini menyebabkan China untuk mempercepat pengembangan dan penyebaran UUV mereka di region. Para analis percaya bahwa hal tersebut dapat membantu China untuk mendeteksi dan memantau perairan kapal selam asing di area Laut China Selatan.  UUV berbentuk terpedo yang ditemukan pada 20 Desember 2020 silam, memiliki warna dasar abu-abu dengan ekor berwarna kuning. Hal ini berbeda dengan drone-drone sebelumnya yang berwarna kuning terang.

Baca Juga :  Sindikat Vaksin Palsu Tidak Ditemukan di Indonesia

Siapapun yang mengoperasikan UUV ini tidak menginingkan drone tersebut untuk ditemukan.   Ada indikasi bahwa drone ini dalam covert mission. Pada saat drone tersebut ditemukan, militer Indonesia mengadakan press conference menyatakan mereka tidak mengetahui dari mana asal drone tersebut. Hal ini memberi kesan bahwa drone tersebut belum diklaim oleh suatu negara atau organisasi — banyak kasus setelah drone ditemukan, langsung diklaim oleh pemiliknya— yang berarti besar kemungkinan bahwa drone tersebut tidak berhubungan dengan survey yang authorized darimanapun.

Walaupun jelas dari fisiknya, bahwa drone tersebut merupakan UUV milik China, TNI tetap mengambil langkah yang cenderung hati-hati dalam menanggapi isu ini.     Semua UUV China yang ditemukan memiliki karakteristik yang sama dengan gliders milik Amerika Serikat. Mereka dapat membawa sensor CTD (conductivity, temperature, depth), Underwater acoustic communication hydrophones, turbulence meter, sensor acoustic doppler current profiler (ACDP) — hydroacoustic current meter yang hampir sama kegunaannya dengan sonar — dan sensor-sensor lainnnya. Data yang diperoleh dari drone tersebut sangat berharga bagi naval planners dalam membantu operasi kapal selam, dan dapat menjadi vital untuk menyembunyikan gerakan atau arah kapal selam.

Dengan melihat tempat drone-drone tersebut ditemukan, besar kemungkinan bahwa China sedang mengumpulkan data pada SLOC (Sea Lanes of Communication) dan SLOT (Sea Lanes of Trade) dalam territori perairan Indonesia. Data tersebut dapat sangat bermanfaat bagi China dalam waktu perang.  Kejadian ini dapat terulang terus menerus apabila Indonesia tidak melakukan apa-apa untuk menyelesaikan kasus ini, ataupun untuk mencegah hal ini terjadi kembali. Melihat sifat dan kegunaan drone tersebut untuk memata-matai ataupun pengumpulan data, TNI harus memprioritaskan untuk menambah kapabilitas mereka untuk mencegah agar kejadian ini tidak terulang kembali.

Baca Juga :  Polisi di Rote Dikeroyok Hingga Babak Belur

Kekuatan maritim yang kuat dengan bantuan elemen-elemen terkait, dan kapabilitas yang kuat, merupakan kunci untuk mencegah insiden ini untuk terjadi lagi. Benar bahwa Indonesia memiliki kapal-kapal yang dilengkapi sonar untuk mendeteksi drone tersebut, namun hal itu tidak cukup untuk meng-cover seluruh perairan Indonesia yang sangat luas.   TNI-AL mungkin memiliki kekuatan terbesar di Asia Tenggara dalam hal jumlah personel maupun naval platforms,namun pada kenyataannya TNI-AL merupakan angkatan laut yang kecil dengan kapasitas terbatas yang hampir pada titik breaking point-nya (dilihat dari jumlah alutsista yang dimiliki dengan luasnya wilayah perairan Indonesia yang harus dilindungi).

TNI AL bergerak secara perlahan untuk mencapai tujuan mereka untuk menjadi green-water navy — kekuatan angkatan laut yang didesain dengan tujuan utama untuk memberikan coastal defense (pertahanan pantai) dan memiliki kompetensi untuk beroperasi di lautan bebas (open water) — dengan menggunakan konsep minimum essential force (MEF). Konsep tersebut digunakan sejak tahun 2005 dan ditargetkan bahwa Indonesia memiliki minimum essential force pada tahun 2024.

Baca Juga :  Bakteri Fotosintetik, Inti Kekuatan EM (part-1)

Pada tahun 2020, Kementerian Pertahanan mendapatkan kucuran dana sebesar Rp 127 Trilliun, yang mana sebagian besar dari dana tersebut akan digunakan untuk pembelian Jet tempur canggih baru untuk TNI AU. TNI AL diproyeksian akan membeli 2 buah kapal perang corvette Gowind buatan Perancis, serta 4 kapal selam Scorpene class dan kapal frigate La Fayette class.   Selain itu Prabowo juga mengincar kapal frigate buatan Denmark Iver Huitfel-class. Beberapa kapal juga ditargetkan untuk beroperasi pada tahun 2024 seperti 3 kapal selam serang Nagapasa-class yang dibuat oleh perusahaan kapal Korea Selatan DSME dan PT-PAL Indonesia. Selain itu TNI AL pun memesan 8 kapal serang cepat Sampari-class (KCR-60M) buatan PT-PAL, 4 diantaranya telah selesai dibuat.

Banyaknya pengadaan kapal-kapal baru oleh TNI-AL dapat memperkuat kekuatan dan kapabilitasnya di region, namun belum.berarti goal TNI-AL untuk menjadi “green-water” navy dapat dengan dicapai dalam waktu yang singkat. Butuh waktu yang dan perencaan budget yang matang oleh TNI-AL untuk mencapai tujuannya.

Apabila MEF telah terpenuhi pada tahun 2024, kita dapat melihat bagaimana tanggapan TNI-AL di waktu yang akan datang apabila kejadian serupa terjadi kembali di Indonesia, apakah akan berubah? Semoga dalam waktu 3 tahun ke depan, postur TNI-AL di arena International dapat disegani oleh negara-negara tetangga, terutama oleh China.

Widitusha Winduhiswara  People’s Friendship University of Russia (RUDN), Moscow

Komentar