JAKARTA – Aktivis dan relawan Covid-19 dokter Tirta Mandira Hudhi menilai kompetisi sepakbola Liga 1 dan Liga 2 perlu digelar pada 2021. Karena pertandingan sepakbola adalah obat untuk pandemic fatique. “Di mana ada acara yang bisa mengalahkan acara sinetron kemarin malam (5 Maret 2021)? Ya sepakbola,” kata Tirta.
Menurut dia, setahun lebih masyarakat disuguhi ketakutan dan kejenuhan atas situasi pandemi. Apalagi situasi sosial di Indonesia saat ini, menurut Tirta, isinya hanya debat politik.
“Masyarakat bosan. Capek melihatnya. Yang ramai buat masyarakat ya sinetron dan tayangan La Liga (Liga Spanyol) dan EPL (English Premier League),” kata dia. Para penggemar sinetron selama ini terhibur. “Tapi yang laki-laki, lelah, tidak ada hiburan. Mereka butuh olahraga (sebagai hiburan), basket, bulutangkis, sepakbola. Ini juga berlaku buat generasi mudanya, generasi Z,” kata dia.
Tirta menilai saat ini sudah waktunya kompetisi kembali digelar, karena PSSI dan para pihak yang terlibat sudah paham konsekwensi bila protokol kesehatan diabaikan. Ada suporter, pemilik klub, dan juga panitia. “Mereka semu sudah paham. Nah kalau ada yang nobar (nonton bola bareng) di satu tempat, itu tugasnya Satgas Covid-19 (untuk membubarkan),” kata dia.
Saat ini, yang jadi masalah ada di Kepolisian. “Polisi kasih izin (pertandingan) atau tidak, itu yang jadi ganjalan selama ini. Polisi takut dicopot. Karena memberi izin, ada kerumunan, terjadi pelanggaran. Mereka melihat ada contohnya, soal Petamburan, kan ada (petunjuk pemerintah pusat), tetap saja kena copot.”
Pesan Epidemiolog
Kompetisi Liga 1 dan Liga 2 yang bakal digelar setelah Turnamen Pra Musim Piala Menpora, mesti dilaksanakan secara hati-hati. Panitia penyelenggara, PT Liga Indonesia Baru harus memperhatikan lima titik rawan penyebaran Covid-19. Hal ini disampaikan epidemiolog dari Griffith University, Queensland, Australia, Dicky Budiman, dalam diskusi daring yang digelar Kelompok Kerja Al Ikhlas, Sabtu (6/3/21) petang. “Setiap titik rawan itu mesti meminimalisir kontak,” kata dia.
Lima titik rawan itu yakni, keluarga pemain dan pelatih. Kedua, training camp atau tempat latihan, ketiga kelompok fans atau suporter, keempat stadion, dan kelima, di tempat untuk menyegarkan diri alias leisure time bagi pemain dan pelatih untuk rileks. “Semua ini bisa memunculkan kerumunan, dan kontak erat,” kata dia.
Contoh, kata Dicky, pemain bisa tertular dari keluarga saat mereke bertemu, atau sebaliknya. Demikian juga saat suporter melakukan nonton bareng allias nobar. “Semua tempat ini mestinya dilokalisir. Maka saya setuju bila kompetisi Liga 1 dan Liga 2 saat ini dilakukan dengan sistem bubble seperti di Amerika Serikat (NBA),” kata Dicky.
Usulan menjalankan sistem bubble, juga diutarakan Tirta Mandira Hudhi, dokter yang juga relawan Covid-19. Menurut Tirta, bila dilakukan dengan sistem bubble, maka semua bisa dikontrol. Termasuk orang dari luar bisa ketahuan, dan dites PCR.
Dicky menyatakan di sistem bubble, para pemain dan pelatih serta ofisioal dikarantina dan tidak bisa bertemu siapapun. Apa yang mereka lakukan hanya untuk pertandingan saja. Serta setiap kali sebelum bertanding, “Mereka dites saliva (ludah), bukan antigen lagi. Jadi lebih ada jaminan, karena selalu tes setiap hari.”
Dengan sistem bubble, kata dia, sebetulnya bisa ada penonton. Namun dibatasi. Baik jumlah serta jarak antar penonton. Selain itu, “Penonton yang masuk stadion harus betul-betul dites Covid-19 langsung di tempat.” Tapi menurut dia, tahap itu adalah langkah berikutnya. “Sekarang yang dilaksanakan, tanpa penonton dulu. Kita disiplin dulu ikut aturan.” (*)
Komentar