KUPANG – Polemik terkait pembacaan naskah ikrar setia pada pancasila, oleh ketua DPR RI, Puan Maharani ditanggapi dengan protes gubernur NTT, Victor Bungtilu Laiskodat. Menurutnya, teks atas nama bangsa indonesia yang diucapkan ketua DPR RI tersebut seharusnya dibacakan Presiden atau wakil presiden bukan ketua DPR.
Victor juga mengatakan bahwa, hal tersebut sebagai catatan sejarah yang salah. Menanggapi pernyataan gubernur tersebut, sekertaris DPD PDI Perjuangan NTT, Yunus Takandewa menyatakan bahwa gubernur keliru.
Menurutnya, rumusan naskah ikrar setia pada Pancasila merupakan naskah yang disusun secara protokoler kenegaraan. “Naskah tersebut bukan hanya saat ini dibacakan oleh ibu Puan Maharani tetapi demikian halnya tahun-tahun sebelumnya,” ucapnya.
Misalnya, pembacaan naskah ikrar setia pada pancasila pada peringatan Hari Kesaktian Pancasila tahun 2017 lalu oleh Wakil Ketua DPR RI kala itu Bapak Fahri Hamzah juga memuat narasi “Atas Nama Bangsa Indonesia”. “Karena itu, naskah tersebut bukan naskah yang dibuat secara pribadi oleh Ibu Puan Maharani, tetapi telah menjadi Naskah yang disusun secara protokoler berdasarkan esensi kenegaraan,” lanjutnya.
Menurutnya, menjadi aneh mengapa baru kali ini saat Ibu Puan membacakan naskah yang sama, baru dipersoalkan oleh Gubernur NTT. “Karena Ibu Puan Maharani berkedudukan sebagai Ketua DPR RI, maka tentunya telah sesuai dengan kapasitasnya sebagai pejabat negara yang memiliki legal standing membacakan ikrar tersebut secara protokoler kenegaraan,” jelas Yunus.
Lanjutnya, Ibu Puan Maharani hadir dalam Upacara peringatan hari kesaktian pancasila sebagai pembaca ikrar kesetiaan kepada Pancasila. “Artinya, Ibu Puan mendapat kepercayaan dari protokoler Istana dalam kapasitasnya sebagai Ketua DPR RI untuk menjadi perwakilan rakyat Indonesia yang membacakan naskah Ikrar Setia tersebut,” lanjutnya.
Menurut Yunus naskah tersebut disiapkan oleh pihak protokoler penyelenggara upacara. “Keseluruhan susunan acara yang dibuat oleh penanggung jawab penyelenggara peringatan hari kesaktian pancasila menjadi satu kesatuan pokok yang telah ditetapkan untuk diikuti oleh peserta upacara secara hikmat termasuk pembagian tugas pembacaan ikrar tersebut dengan menerapkan prokes secara ketat,” tambahnya.
Itu artinya, Puan Maharani telah melaksanakan tugas tersebut secara bertanggungjawab dan justru telah menjunjung tinggi makna pelaksanaan kegiatan tersebut dengan memegang prinsip ketaatan pada protokoler upacara tanpa melakukan kesalahan apapun. “Pembacaan ikrar setia dalam upacara tersebut bertujuan merepresentasikan perwakilan bangsa indonesia yang tidak mungkin dihadirkan semuanya dalam upacara,” lanjutnya.
Selain itu, pembacaan ikrar setia tersebut setelah mendapat persetujuan dari Protokoler Istana wajib membacakan naskah yang telah disiapkan dan secara etika kenegaraan tidak boleh membacakan naskah diluar naskah yang telah disiapkan. “Jadi, siapapun pejabat negara yang saat itu bertugas membacakan ikrar setia, dia merepresentasikan rakyat Indonesia yang menyatakan kesetiaan kepada Pancasila,” tegasnya.
Kritik Gubernur NTT jelas salah alamat dan tidak beralasan baik secara konten bahasa indonesia yang baik dan benar maupun dari segi protokoler yang di buat oleh pananggub jawab dan di setujui oleh protokloer istana. Karena ibu puan hanya bertugas membacakan teks yang disediakan, dengan demikian , maka posisi ibu puan hanyalah sebagai pembaca naskah ikrar sebagaimana yang di persiapkan oleh penanggung jawab upacara,” tambah Yunus.
Jadi, menurutnya, apa yang dibacakan ibu puan secara esensial tidak keliru. “Karena siapun yang membacakan teks tersebut berdiri dalam kapasitas sebagai perwakilan bangsa indonesia,” tandasnya.
laporan : yandry imelson
Komentar