KUPANG – Kasus KDRT yang menyebabkan kematian almarhumah Linda Brand hingga saat ini masih berproses serta menjadi atensi Kapolda NTT. Kendati kasusnya terjadi sejak 2013 silam dan telah ditetapkan Erik Mela sebagai tersangka pada 2019 namun belum juga ada kejelasan hukum.
Penasehat hukum kaka korban (pelapor) Ricky J D Brand SH kepada kupangterkini.com Sabtu (3/9/22) menyampaikan bahwa, pihaknya tetap menghormati kewenangan penyidik menahan atau tidak menahan seseorang. “Akan tetapi, keputusan tidak menahan Erikh Benydikta Mela sebagai tersangka tentu bersimpangan dengan ketentuan pasal 24 ayat 1 KUHAP, karena perbuatan tersangka adalah perbuatan yang menghilangkan nyawa Linda Maria Bernadina Brand merupakan tindak pidana yang diancam dengan penjara 15 tahun,” ujarnya.
Dia membeberkan bahwa alasan tidak ditahannya tersangka berdasarkan tiga hal yakni, alasan kemanusiaan, tersangka masih dibutuhkan keempat anaknya serta tersangka merupakan tulang punggung keluarga. “Alasan tersebut merupakan hal yang sangat mengoyak perasaan keadilan kami sebagai keluarga korban yang jauh dari nilai moral, kepatutan, keadilan dan hukum,” ucap Ricky.
Menurutnya, perbuatan tersangka menghilangkan nyawa istri dari empat orang anaknya adalah perbuatan yang sangat keji dan tidak manusiawi. “Sehingga sangat amat tidak patut untuk disepadankan dengan alasan kemanusiaan, terlebih lagi berdasarkan bukti – bukti yang ada dan valid keempat anak korban berada di tempat kejadian perkara ketika ibu mereka meregang nyawa akibat kekerasan yang dilakukan tersangka Jumat 13 Aril 2013,” sesalnya.
Selanjutnya, Ricky menambahkan bahwa alasan tidak ditahannya tersangka bukan merupakan alasan hukum melainkan diskresi penyidik yang berpotensi menjadi preseden buruk dikemudian hari. “Tidak ditahannya tersangka dengan alasan kemanusiaan tidak saja dapat menimbulkan persepsi negatif, akan tetapi juga dapat menimbulkan sikap skeptis bahwa promoter yang menjadi program unggulan Kapolri akan terwujud dalam penanganan kasus ini,” cecarnya.
Berikutnya, ia juga memaparkan bahwa anak – anak tersangka adalah juga korban kekerasan psikis dalam rumah tangga, berdasarkan keterangan saksi dan bahkan keterangan tersangka membuktikan bahwa mereka berada di TKP saat ibu kandung mereka menerima perlakuan keji yang merenggut nyawanya. “Karena tindakan kekerasan terhadap ibu kandung mereka terjadi secara berulang kali (hari, bulan dan tahun) maka dapat dipastikan anak – anak yang berusia 10 tahun kebawah waktu itu kerap menyaksikan kekerasan tersebut yakni melihat ibu mereka menderita, menangis dan puncaknya menyaksikan ibu mereka meregang nyawa akibat kekerasan yang diterimanya,” ungkap Ricky.
Lanjutnya, dengan pengalaman keempat anak tersebut menyaksikan dan mendengar langsung kekerasan fisik yang dilakukan tentu berdampak negatif pada kesehatan mental dan emosional mereka. “Sudah tentu berdampak negatif pada kesehatan mental dan emosional dari anak – anak korban yang mana dapat membawa mereka kedalam suatu keadaan yang diaebut post traumatic stress disorder (PTSD),” tegasnya.
Lebih lanjut, Ricky juga membeberkan terkait adanya pelaku pembantuan yakni kakak kandung tersangka. “Patut diduga bahwa pendeta Any Sapay – Mela S.Th mengetahui kekerasan yang dilakukan oleh tersangka dari waktu ke waktu terhadap korban namun tidak juga melakukan tindakan prevensi sehingga tindakan kekerasan terus berlangsung terhadap korban yang berujung pada kematian,” ucapnya.
Juga tindakan – tindakan dari ibu kandung, saudara – saudara kandung, misan dan para keponakan patut diduga melihat, mendengar atau mengetahui kekerasan yang dilakukan tersangka namun tidak ada upaya – upaya uncuk melakukan pencegahan. “Perbuatan ini dapat diklasifikasikan sebagai pembantuan pasif, dengan demikian mereka patut diduga telah melakukam tindak pidana sebagaimana dimaksut dalam pasal 44 ayat 1 undang – undang penghapusan KDRT,” katanya.
Untuk itu, Ricky meminta kepada penyidik untuk memanggil dan memeriksa saudara – saudara tersangka untuk diperiksa. “Saya sebagai kuasa hukum pelapor maupun keluarga korban mohon agar penyidik memanggil dan memeriksa Sarah Mela, Sely Adu, Yopi Mela, Nuri Rosmiyati Agustine Ndoen – Mela, Johny Hendrik Mela serta pendeta Any Sapay – Mela untuk diperiksa sebagai orang – orang yang patut diduga melakukan pembantuan pasif,” tegasnya.
Berikutnya, Ricky mengungkapkan bahwa kakak kandung tersangka yakni Any Sapay – Mela diduga melakukan tindakan menghalangi penyidikan. “Berdasarkan bukti yang kami miliki, Any Sapay – Mela patut diduga telah memanfaatkan posisinya sebagai pendeta untuk menolong tersangka agar tidak ditahan.
Caranya adalah menjelang tersangka diperiksa oleh penyidik Polresta Kupang Kota pendeta Any Sapay – Mela telah meminta bantuan kepada ketua Sinode GMIT untuk menemui pejabat tinggi di Polda NTT guna meminta bantuan terkait dengan kasus tersangka. Bahwa ketua Sinode GMIT, Pendeta Dr. Merry Kolimon dalam pertemuan dengan saya sebagai kuasa hukum bersama dengan pelapor di kantor Sinode Senin 19 Mei 2019 pukul 09.30 hingga 11.00 Wita, mengakui adanya pertemuan antara ketua Sinode GMIT dengan pejabat tinggi Polda yakni Wakapolda NTT,” terangnya panjang lebar.
“Dari hasil pembicaraan kami dengan ketua Sinode GMIT tersebut, kami menyimpulkan bahwa pendeta Any Sapay – Mela patut diduga telah memberikan informasi yang menyesatkan kepada pendeta Dr. Merry Kolimon tentang keadaan anak – anak korban adanya relasi buruk dengan kami keluarga. Akibatnya, beliau (ketua Sinode GMIT) sebagai pendeta dan ibu yang mempunyai anak serta seorang pemerhati gender dan anak menjadi luluh hatinya, teristimewa saat melihat anak – anak korban sehingga bersedia menemui Wakapolda guna meminta bantuan proses hukum terhadap tersangka Erik Mela,” tambahnya lagi
Untuk itu menurut Ricky, perbuatan yqng dilakukan pendeta Any Sapay – Mela adalah perbuatan menghalang – halangi proses hukum. “Menurut hemat saya, dapat diklasifikasikan sebagai Obstruction of justice dan dikategorikan sebagai tindakan kriminal,” tegasnya.
Terakhir, Ricky juga menguraikan motif tersangka yakni adanya wanita idaman lain (Wil). “Hal ini ketika korban mengalami kekerasan pada 2007 dan harus mengalami rawat inap selama dua minggu di RS Bhayangkara, disitu korban menyampaikan kepada saudara – saudara kandungnya (termasuk saya) bahwa tersangka mempunyai wanita idaman lain yang merupakan teman sekantor tersangka,” ungkapnya.
Menurut korban, kekerasan yang diterimanya itu sering dipicu oleh adanya Wil teraebut. “”Korban juga sampaikan hal tersebut kepada atasan tersangka kepada Biro Kesra Provinsi NTT, bahkan dua minggu sebelum korban meninggal dunia ia sampaikan kepada kita bahwa Wil dari tersangka sempat mengiriminya SMS yang berbunyi sebentar lagi saya akan mengganti posisi kamu,” ucapnya menirukan pernyataan korban sesuai pesan tersebut.
Selain itu, Ricky juga memohon kepada penyidik untuk melakukan pemeriksaan terhadap Joseph Wilem Brand yang adalah ayah kandung korban. “Beliau adalah orang pertama yang diberitahu oleh Nusi Rosmiyati Agustina Ndoen – Mela bahwa Linda Maria Bernadine Brand jatuh di kamar mandi dan meminta Josep Wilem Brand mendatangi lokasi,” tandasnya.
laporan : yandry imelson
Komentar