KUPANG – Setelah beberapa waktu adem ayem saja, kasus
anggota DPRD Kota Kupang, Mokrianus Lay yang dilaporkan istrinya merebak kembali. Dimana, sang mantan istri yakni Anggi Widodo kembali membuat publik heboh dengan pernyataannya.
Rian Van Frits Kapitan, SH, MH selaku kuasa Hukum Mokrianus Imanuel Lay ketika dihubungi kupangterkini.com memberikan tanggapan atas petunjuk yang diberikan oleh Jaksa Peneliti kepada Penyidik.
Rian pada prinsipnya, tidak sependapat dengan keberatan yang diajukan oleh pihak Anggi Widodo (Istri Mokris Lay/Pelapor) yang keberatan dengan petunjuk Jaksa Peneliti dalam berbagai pemberitaan sebelumnya. Menurut Rian, Jaksa adalah pemilik perkara pidana karena ada asas dominis litis, tidak boleh diintervensi kerja-kerja profesional dari jaksa dalam penanganan suatu perkara pidana dan memang sangat dibutuhkan pemeriksaan lanjutan terhadap psikologi/kejiwaan anak seperti yang menjadi petunjuk Jaksa kepada Penyidik.
“Ini karena dalam putusan perceraian antara Pak Mokris dan Istrinya itu, jelas-jelas bukan Pak Mokris yang melakukan perbuatan yang mengganggu mental /kejiwaan kedua orang anak sehingga berpengaruh kepada pertumbuhan kedua orang anak.
Pemeriksaan psikologi lanjutan di Bali menjadi penting untuk memastikan apakah benar anak-anak Pak Mokris terganggu mental dan kejiwaannya akibat perbuatan Pak Mokris,” ungkapnya Kamis (2/10/25)
“Harus benar-benar objektif karena selain putusan perdata ini telah membuktikan bukan pak Mokris yang melakukan perbuatan mengganggu mental anak, putusan itu juga membebankan pak mokris untuk memberi nafkah anak per bulan Rp. 7.500.000 serta mengasuh kedua anak setiap Sabtu dan Minggu.
Sehingga, tindak pidana penelantaran dalam Undang-Undang Perlindungan Anak yang menjerat Pak Mokris justru jika dipaksakan maka akan bertentangan dengan asas kepentingan terbaik bagi anak yang diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang itu sendiri
asas kepentingan terbaik bagi anak harus menjadi prioritas dalam penanganan perkara-perkara yang menempatkan anak sebagai korban,” tambah Ryan.
Menurutnya, jika kasus tersebut dipaksakan, katakanlah menghilangkan petunjuk pemeriksaan psikologi lanjutan di Bali, maka bagaimana caranya Mokrianus bisa melaksanakan kewajiban-kewajibannya sesuai putusan perdata bagi kedua orang anaknya.
“Jadi kami mohon kepada Kejaksaan Tinggi NTT agar objektif dan profesional dalam penanganan perkara ini. Kejaksaan harus bekerja berdasarkan hukum, bukan berdasarkan tekanan dari berbagai pemberitaan yang ada,” harapnya.
“Karena ini menyangkut dengan nasib orang. Bagaimana orang yang kesalahannya belum mampu dibuktikan dengan bukti permulaan yang ada tetapi karena tekanan-tekanan yang sifatnya non hukum kemudian menjadikan orang itu kasusnya dipaksakan dan kesalahannya itu menjadi ada,” ucapnya lagi.
Menurut Rian, salah satu prinsip utama dalam penegakan hukum pidana adalah kesalahan itu harus ditemukan bukan kesalahan dicari-cari, dua hal ini sangat berbeda secara fundamental.
“Kalau kesalahan dicari-cari maka yang ada ketidakadilan bagi Pak Mokris.
Jadi kami mendukung penuh dan berharap Kejati NTT tetap profesional dan independen serta objektif secara hukum dalam melihat kasus Pak Mokris Lay,” tandasnya.
laporan : yandry imelson
Komentar