GARA-GARA pencapresan mendadak Ganjar Pranowo, naskah Lebaran Lutut ini baru bisa terbit hari ini. Padahal ada lagi komentar pembaca yang ingin saya komentari.
Yakni komentar pembaca yang begitu banyak. Yang nadanya agak curiga: kok saya, tumben, sendirian ke Tiongkok. Juga kecurigaan soal baju lama (disimpan di mana) dan baju baru (siapa yang membelikan, hayo!).
Saya harus berkilah apa.
Sumpah! Saya sudah berniat mengajak istri. Bahkan sudah saya uruskan visa beliau. Visa sudah di tangan. Teman-teman di Tiongkok juga sudah tahu saya akan datang bersama istri. Itu, sumpah, bukan bagian dari taktik menipu istri.
Lalu saya lihat kondisi istri. Terutama sepulang dari umrah yang langsung disambung safari Ramadan ke Tasikmalaya. Kalau dipaksa ikut sih kuat, tapi apakah tidak terlalu menyiksa.
Saya pernah berkali-kali minta maaf kepada istri: saya ikut bersalah. Saya ikut menjadi penyebab sakit lutut beliau. Peristiwanya terjadi di Beijing. Bukan baru sekali atau dua kali. Waktu itu pun kelihatannyi sehat-sehat saja. Istri saya memang pandai menyembunyikan penderitaan. Terutama di depan suami. Itu saya anggap bagian dari kesempurnaan seorang istri.
Maka saya ajak beliau menggelandang ke mana-mana. Turun-naik kereta bawah tanah. Naik-turun tangga. Kejar-mengejar kereta. Bersama cucu kecil yang masih lucu yang sekarang sudah hampir tamat SMA: Icha Iskan.
Akhirnya kami sampai di Forbidden City. Kami memang ke istana kuno 999 kamar itu. Di seberang lapangan Tian An Men, Beijing itu. Saya ingin jadi tour guide untuk istri dan cucu. Tanpa pendamping dari Tiongkok.
Berjam-jam kami jalan kaki: mengelilingi istana itu. Naik turun pula.
Keluar dari istana tua itu istri saya minta istirahat. Tidak ada tempat duduk. Tidak ada taksi yang boleh berhenti di kawasan itu. Semua taksi terlihat melaju kencang di jalur cepat.
Kami pun duduk di trotoar lebar. Tempat pemberhentian taksi masih sangat jauh.
Kadang saya berpikir, sebelum maju, dulu Beijing lebih fleksibel. Di kejadian darurat seperti ini bisa dapat angkutan apa saja.
Setelah istirahat, istri saya mengajak jalan lagi. “Kuat?” tanya saya. “Dicoba,” jawabnyi dengan wajah tidak menderita. Mulailah terlihat jalannyi pincang. Pelan. Kalau saja ini adegan film India saya akan gendong dia.
Akhirnya dia mengeluh: sakit sekali. Sebentar-sebentar kami istirahat. Saya merasa begitu bersalah.
Pulang dari Beijing beliau saya bawa ke dokter. Harus operasi. Tapi istri saya tidak mau operasi lutut. Padahal tidak ada jalan lain. Suatu saat kami (saya dan anak-anak) cari cara. Agar bisa operasi. Sampai saya jelaskan: lutut baru nanti itu buatan Jerman. Yang terbaik di dunia saat itu.
Akhirnya operasi berlangsung. Di Surabaya. Sukses. Setelah operasi istri saya terlihat sangat menderita. Tiap hari menjerit. Itu memang masa pemulihan. Setelah tiga bulan barulah berkurang. Lalu tidak lagi rasa sakit. Lantas happy. Bisa senam dansa lagi.
Itu… yang kanan.
Belakangan yang kiri mulai sakit. Istri saya merasa trauma untuk menjalani operasi sekali lagi. Dalam penolakannyi itu sering diucapkan kata-kata ini: “Abah kan tidak merasakan sakitnya”.
Saya pun melemah oleh kata-kata itu. Terutama ketika ingat perasaan bersalah waktu di Beijing itu. Toh kini masih ada satu lutut yang made in Germany itu. Yang bisa jadi tumpuan darurat. Tentu kami masih harus menemukan cara agar beliau mau operasi sekali lagi.
“Anda baiknya nggak usah ikut ke Beijing ya?” kata saya sambil menyerahkan paspor untuk disimpan lagi.
“Iya. Saya ke Kaltim saja,” katanyi. Itu berarti pulang kampung. Sambil ke makam ayah-ibunyi di Loa Kulu, dekat ibu kota Kutai Kartanegara.
Lalu ada lagi komentar di Disway: mengapa tidak ajak Robert Lai? Yakni soulmate saya di Singapura itu?
Sumpah! Saya sudah hubungi Robert. Kali ini ia pun tidak bisa.
Saya tidak memaksanya. Saya tahu alasannya, pun sebelum diucapkan. Istrinya juga tidak terlalu sehat. Punya masalah di paru-paru. Di tengah Covid-19 Robert harus menjaga istri lebih dari biasanya. Sakit paru adalah komorbid yang paling berat kalau sampai kena Covid.
Saya salut kepadanya. Ia bisa menjaga istri sampai melewati masa Covid. Tapi ia masih terus ekstra hati-hati. Rasanya ia juga merasa bersalah pada istri. Dorothy, istrinya, terlalu lama ditinggal keliling dunia. Sejak sebelum kenal saya. Lalu berbulan-bulan menemani saya. Ke Eropa. Ke Amerika. Terutama ke Tiongkok. Yakni di masa-masa kritis saya. Sampai mengurus transplantasi hati saya.
Maka saya pilih ingat masa-masa menjadi wartawan: lebih senang sendirian meliput peristiwa besar daripada bergerombol dengan wartawan lain. Tidur di terminal bus, di stasiun kereta api, di musala, di gardu jaga, sangatlah sudah biasa.
Kesendirian itu pula yang mewarnai sikap hidup saya selanjutnya. Punya teman adalah baik, tidak punya teman tidak apa-apa.
Tapi setiap salah orang harus minta maaf. Saya pun minta maaf kepada para pembaca Disway. Termasuk sudah minta maaf pada Encik Syafiq Hakim, pembaca Disway di Malaysia. Lewat email ke redaksi Disway, Encik Syafiq mengoreksi beberapa data di tulisan saya. Misalnya soal nama Azmi itu mestinya Nazmi.
Mungkin banyak juga pembaca Disway yang merasa bersalah kepada istri. Maka saya setuju dengan ide anak-anak dan menantu saya ini: di saat Lebaran tidak hanya istri yang cium lutut suami. Ganti, suami juga harus cium lutut istri.
Dan saya, dulu, pilih cium lutut istri saya yang kanan. Lebaran ini saya cium lutut istri yang kiri. (*)
Oleh : Dahlan Iskan
Komentar