KUPANG – Tragedi terbakarnya Cantika Express 77 merupakan duka bagi masyarakat NTT. Kini, pencarian terhadap para korban telah ditutup dan 17 orang dinyatakan hilang, selain itu, kapten kapal tersebut telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan Polda NTT.
Mengomentari hal tersebut, pakar hukum Dedi Manafe SH, MHum menyatakan kepada kupangterkini.com Jumat (4/11/22) bahwa kalau sekarang penyidik menetapkan satu tersangka maka penyidik memulai dari penanggung jawab tertinggi saat kapal itu sedang berlayar. “Dalam konteks ini, penyidik dalam melaksanakan penyidikan difokuskan pada feitelijke (perbuatan) yang diidentifikasi oleh strafbarfeit (tindak pidana),” jelasnya.
Menurut Dedi, kapten kapal merupakan pihak yang paling mudah untuk dimintai pertanggung jawaban pidana (toerekeningsvatbaar). “Oleh karena selama pelayaran sebagai pihak yang bertanggung jawab atas keselamatan pelayaran, maka kapten kapal jelas paling mudah untuk dimintai tanggung jawabnya secara pidana atas tragedi ini,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa cara kerja seperti ini memang tidak terlarang atau bukan pula baru dalam hukum pidana. “Akan tetapi, dalam algemaine strafrechtslehre (ajaran umum hukum pidana) untuk mengungkap suatu tindak pidana, dikenal causaliteit lehre (ajaran sebab akibat) artinya, setiap tindak pidana itu ada penyebab yang mendahului feit (perbuatan) dan akibat yang muncul setelah feit dilakukan,” tambahnya.
Dalam analisisnya, Dedi mengemukakan bahwa dalam kerangka mengungkap sebab akibat suatu perbuatan yang terkualifikasi sebagai tindak pidana maka ada dua ajaran. “pertama, ajaran tentang sifat melawan hukum (wederechttstelijkheid) secara sederhana yang disebut sebagai suatu tindak pidana apabila telah diatur dalam suatu UU,” kata Dedi.
Hal ini mengacu pada asas legalitas hukum pidana, sehingga sifat melawan hukum itu juga harus diatur dengan jelas dalam rumusan delik suatu tindak pidana. “Dalam konteks ini, penyidik sebaiknya bekerja dengan dasar urut – urutan tanggung jawab pidana dari mereka yang secara eksplisit diatur dalam UU pelayaran, UU pelayanan publik dan UU asuransi serta KUHP,” ucapnya.
Kedua, ajaran tentang kesalahan (schuld begrip) hal ini dikarenakan hukum pidana menganut asas geen straf zonder schuld (tiada pidana tanpa kesalahan). Dikaitkan dengan ajaran wederrechtstelijkheid maka ketika orang – orang yang disebut bertanggungjawab secara pidana oleh UU, ternyata dengan sengaja (dolus) atau lalai (culpa) melaksanakan tanggung jawabnya maka, maka jelas telah terpenuhi rumusan delik tindak pidana tersebut.
“Kalau mengikuti logika pikir ajaran umum hukum pidana tersebut maka seharusnya kapten kapal merupakan orang terakhir yang diminta pertanggungjawaban pidana. Seharusnya pemilik kapal yang diminta pertanggungjawaban pidananya pertama kali,” tegas Dedi.
Dalam hal ini, Dedi menyebutkan mengapa begitu karena, pertama, bagaimana kalau pemilik kapal mengabaikan tanggungjawabnya untuk melakukan perawatan/pemeliharaan berkala atau periodik atas kapal. “Bagaimana kalau kapten kapal sebagai pihak yang dipekerjakan terpaksa mengoperasikan kapal yang tidak layak jalan,” ucapnya bertanya – tanya.
Lanjutnya, artinya bisa saja dalam relasi antara pemilik kapal dan kapten kapal sebagaimana hukum pidana menyebutnya dalam pasal 56 KUHP sebagai urheber (pelaku) dan gehilfe (membantu melakukan). “Jika ternyata terbukti adanya relasi seperti ini, maka urheberlah yang harus dipidana terlebih dahulu.
Mengapa ini penting ? Terlalu berlebihan kalau motif untuk : Satu, mengabaikan pemeliharaan periodik kapal. Dua, memuat penumpang diluar manifest penumpang itu senua datang dari kapten kapal. Akan tetapi, saya mengapresiasi kerja penyidik.
Semoga semua yang layak untuk dimintai pertanggungjawaban secara pidana harus dikenakan pidana yang setimpal. Bukan saatnya lagi untuk sekedar menjerat kambing hitam,” tandasnya.
laporan : yandry imelson
Komentar