“Mukjizat itu saya kira fiksi. Ternyata benar-benar ada,” ujar Butet Kartaredjasa.
Saya sempat ngobrol dengan raja monolog Indonesia itu sebentar. Di ruang belakang panggung pementasan Tabib Suci. Minggu (20/2) sore lalu. Di Taman Budaya Yogyakarta.
Butet merasa seperti mendapat mukjizat bisa naik panggung lagi. Padahal selama dua tahun ia didera sakit seperti tak tersembuhkan.
Waktu saya menengoknya enam bulan lalu ia masih terbaring di tempat tidur: tidak bisa duduk –apalagi berdiri. Syaraf tulang belakangnya bermasalah sangat serius. Sampai infeksi –yang bisa mengancam otak.
“Masih harus pakai tongkat?” tanya saya. Ia memang bertongkat ketika berjalan menghampiri saya.
“Sebenarnya tidak juga. Tapi saya merasa lebih aman pakai tongkat,” jawabnya.
Di belakang panggung itulah para pelaku Tabib Suci berhias dan menata diri. Di situ ada Cak Lontong, pelawak intelektual yang mahal itu. Juga ada Inayah, putri Gus Dur yang memerankan istri penjual cilok kelas gerobak dorong –makanan kecil asli sunda yang terbuat dari tepung digoreng.
Tentu ada Marwoto –yang selalu heran mengapa lawakannya tidak kalah lucu dari Cak Lontong tapi tarifnya kalah jauh.
Di situ saya juga kangen-kangenan dengan Mucle, si pendorong cilok –yang dulu jadi pemeran guru olahraga di film Sepatu Dahlan.
Mereka repot sekali –menata diri. Maka di belakang panggung itu saya lebih lama ngobrol dengan dokter yang menangani Butet.
“Bener nih, dokter sudah membolehkan Butet naik panggung?” tanya saya.
“Boleh. Boleh,” jawabnya.
Itulah dokter Ryu. Ia ahli bedah saraf (Sydney) yang mendalami neuro science (Tokyo). Ia sendiri dokter lulusan Unair yang sejak 1989 bekerja di satu lembaga internasional di Jepang.
Suatu saat Butet kirim WA ke Jepang. Disertai foto punggungnya yang berair. Ryu kaget melihat foto itu. “Itu bukan air. Itu nanah. Berarti ada infeksi berat. Bahaya. Bisa menjalar ke otak,” jawab Ryu.
Butet pun ia paksa ke Jakarta. Ryu sendiri akan terbang dari Tokyo ke pada jam yang sama.
Dengan menahan rasa sakit Butet diberangkatkan ke Jakarta. Naik mobil. Anaknya yang mengemudikan vellfire itu. Butet duduk setengah berbaring di kursi tengah bersama Ruli, sang istri.
Dokter Ryu juga tiba di Jakarta tepat waktu.
Ryu memang dipercaya untuk memimpin Neuro Center di RS Mayapada Jakarta. Pun di masa pandemi, ia tidak sulit mondar-mandir Tokyo-Jakarta: ia punya paspor WHO.
Butet memang “residivis” untuk masalah kesehatan. Ia mengidap diabetes yang berat. Sudah pula merembet ke jantungnya. Ia sudah kena serangan jantung beberapa kali –termasuk ketika di belakang panggung, di sela-sela adegan pentas di Jakarta.
Tapi bukan diabetes itu yang menyebabkan infeksi di saraf tulang belakang. Hanya saja gula darahnya yang tinggi membuat infeksi itu sulit sembuh. Lalu sampai bernanah.
Dokter Ryu memang fans Butet sejak mahasiswa. Ketika lagi tugas perdana di Kaltim ia terbang ke Surabaya hanya untuk menonton Butet –Arif Afandi dan saya yang mendatangkan Butet kala itu untuk lakon Demit. Ryu sendiri yang menceritakan kenangan yang sudah begitu lama. Dulu, Ryu juga berkali-kali ke Jogja hanya untuk menonton Butet.
Nama lengkap dokter itu: Roslan Yusni Hasan. Disingkat Ryu. Ia cucu salah satu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Wahab Hasbullah –tokoh yang melahirkan kata-kata minal aidin wal faizin. Sebagai cucu kiai besar pondok Tambak Beras, Jombang, ia fasih berbahasa Arab. Itulah bahasa pertamanya. Masa kecilnya hidup di Riyad, Arab Saudi. Ayahnya, Hasan Wahab, bertugas sebagai atase di kedutaan Riyad.
Lalu ia ikut pindah ke negara Arab lainnya: Iraq. Di Baghdad ia punya guru orang Parsi. Itu membuatnya fasih berbahasa Parsi. Lalu ia ikut orang tua ke Lebanon. Ryu pun mempelajari bahasa Hebrew yang lebih banyak dipakai di Israel. Tentu ia juga berbahasa Inggris. Dan Jepang. Sudah lebih 20 tahun ia tinggal di Jepang.
“Setelah Arab, Parsi, dan Hebrew barulah saya bisa bahasa Jawa,” ujarnya.
Ryu bercerita, masa kecilnya sangat sulit: selalu dimarah-marahi lingkungannya. Apalagi ketika SMP di Malang, gurunya terus marah padanya. “Saya memang anak autis,” katanya. “Saya dianggap tidak punya sopan santun dan tidak punya tenggang rasa. Kalau bicara apa adanya. Apa pun yang ingin saya katakan langsung saya ucapkan. Sering menyakitkan orang lain,” kata Ryu.
“Kapan Anda berubah menjadi ”dewasa” normal?” tanya saya.
“Setelah saya mempelajari neuro science. Saya jadi tahu cara kerja saraf di otak,” katanya.
“Hah?”
“Tidak mengatakan semua yang ingin dikatakan, itu adalah yang melahirkan kerja sama,” katanya.
Wow.
Dengan menyimpan sebagian yang ingin dikatakan membuat orang lain bisa menerimanya. Lalu terjadilah kerja sama.
Anak autis tidak bisa menyimpan apa yang ingin ia katakan atau yang ingin ia lakukan.
Pembicaraan saya terputus. Ada telepon masuk ke HP-nya. Wajah Ryu berubah menjadi serius. “Lakukan scan. Sekarang juga. Kirim ke HP saya. 15 menit lagi saya telepon balik,” katanya. Rupanya ada pasien yang gawat.
Pembicaraan terputus lagi karena istri Butet muncul. Ia menyapa istri saya dalam bahasa daerah Kutai. Mereka pun ngobrol dalam bahasa itu dengan asyiknya. “Istri saya Banjar, tapi rumahnyi dekat ibu kota kabupaten Kutai Kartanegara,” ujar saya menjelaskan. Sedang istri Butet asli Kutai.
Ryu tidak hanya terkenal di kalangan medis, khususnya bedah saraf. Namanya juga sering disebut sebagai pemikir ketuhanan –terutama apakah Tuhan benar-benar ada. Sebagai neuro scientist ia mendalami sistem kerja saraf. Kalau ada waktu lagi saya akan bertanya padanya: apakah khusyuk itu gejala agama atau gejala saraf.
Jam pertunjukan pun tiba. Saya harus masuk ruang teater. Dalam gedung ini ternyata jauh lebih bagus daripada luarnya.
Butet muncul pertama memberi pengantar –jalannya cukup tegap meski pakai tongkat. Ia berbohong. Atau bohong sebagian. Pentas Butet dikatakan absen lebih dua tahun karena pandemi. Ia tidak mengatakan absen itu karena ia sakit gawat nan lama.
“Judul lakon ini Tabib Suci. Ada satu huruf yang berbahaya di judul itu. Huruf T. Jangan sampai huruf T itu diucapkan pakai huruf lain. Bisa berurusan dengan penjara,” katanya.
Lakon ini dipentaskan dengan durasi 3 jam. Butet ternyata bukan pemeran utama. Ia hanya tampil tiga kali –yang sekali hanya lewat begitu saja. Benar-benar hanya lewat. Itu membuat Marwoto terinspirasi untuk melucu. “Coba lihat, betapa tidak adilnya Butet itu. Perannya hanya lewat begitu saja. Bayarannya paling mahal,” kelakar Marwoto.
Pemeran utama teater Gandrik kali ini justru Cak Lontong. Dan Marwoto. Dan Susilo.
Dengan pemeran seperti itu sudah pasti dijamin kaya sekali gerrr –seraya tidak banyak menyisakan bahan renungan yang mendalam.
Teater Gandrik memang tidak bisa dipisahkan dari gelak-tawa, tapi kekayaan dan kedalaman bahan untuk direnungkan kali ini terasa kurang.
Mungkin tunggu Butet benar-benar sehat dulu. (Dahlan Iskan)
Anda bisa menanggapi tulisan Dahlan Iskan dengan berkomentar http://disway.id/. Setiap hari Dahlan Iskan akan memilih langsung komentar terbaik untuk ditampilkan di Disway.
Komentar