DARI Bandara Halim saya langsung ke RSPAD. Jenazah Opung ternyata sudah diberangkatkan ke Balige. Pakai pesawat carter. Opung dimakamkan di sana. Di kampung halamannya. Kemarin.
Opung memang sudah lama menyiapkan makam untuk dirinya: Di Hall of Silence kompleks museum Letnan Jenderal Purn TB Silalahi. Itu juga disebut TB Silalahi Center.
Saya dua kali ke museum itu. Dari lantai duanya terlihat Danau Toba yang damai. Di antara museum dan danau itu terhampar petak-petak sawah yang padinya lagi menguning.
Di museum itu perjalanan karir militer Opung disajikan. Foto, pakaian, senjata, dan apa pun yang terkait dengan perjuangannya di TNI dipajang. Termasuk ketika menjadi komandan pasukan perdamaian di Timur Tengah.
Ini juga bisa disebut museum Batak. Benda-benda budaya diabadikan di situ. Itulah budaya yang membentuk kepribadian Opung.
Opung mendalami budaya Arab. Juga soal Islam. Ia menjadi pembina salah satu organisasi pesantren yang besar di Jawa Barat. Saya diperkenalkan ke banyak kiai muda di sana. Organisasi itu dikenal luas sering mengadakan lomba marawis se Jabar.
Opung begitu sering menerima penghargaan sebagai lulusan terbaik di berbagai sekolah komando. Juga di sekolah komando gabungan, Seskogab.
Tapi karir jabatannya di TNI mirip Opung satunya: Jenderal Luhut B. Pandjaitan. Sama-sama istimewa tapi tidak pernah jadi pangdam, jadi KSAD, apalagi jadi panglima TNI.
Opung bisa menerima itu dengan realistis. Tapi ada satu yang sangat mengganjal di hatinya. Juga di pikirannya: mengapa tidak bisa memiliki bintang empat.
Opung pensiun dengan tiga bintang (letnan jenderal TNI). Hanya itu. Ia tidak menyesal tidak pernah menjadi KSAD. Opung menyadari hidupnya ditakdirkan untuk minus dua: bukan Jawa dan bukan Islam. Ia tidak menyebutnya Batak dan Kristen –karena yang suku non-Jawa agama non-Islam lainnya juga mengalami nasib serupa di zaman itu.
”Kau lebih berat lagi,” kata Opung sambil menunjuk orang terdekatnya: Robert Njoo. ”Kau minus tiga,” ujar Opung. Maksudnya: Njoo punya tambahan minus satu lagi. Njoo adalah Tionghoa.
”Untuk bisa dapat posisi yang baik kau harus tiga kali lipat lebih pintar dari orang Jawa. Kau harus tiga kali lebih rajin belajar. Kau harus tiga kali kerja lebih keras,” kata Opung.
Semua yang tiga kali lipat itu ia lakukan untuk dirinya juga. Karena itu ia pintar. Bisa naik pangkat sampai letnan jenderal. Tapi posisi terbaiknya adalah guru. Opung menjadi pengajar favorit di Sesko, Seskogab, maupun di Lemhanas. Opung asyik sekali kalau mengajar. Ia menikmatinya. Murid-muridnya sudah banyak yang jadi jenderal bintang empat. Justru gurunya yang tertinggal.
Gagal melayat Opung saya langsung melayat yang lain: ayah Robert Njoo. Ia juga meninggal. Umur 89 tahun. Hanya selisih beberapa jam dari Opung.
”Saya minus dua hari ini,” kata Njoo dengan logat Bataknya. ”Dua bapak saya meninggal hampir bersamaan,” tambahnya.
Padahal Opung sudah berpesan agar Njoo-lah yang mengurus jenazahnya bila meninggal dunia. Njoo pun sudah menyanggupinya.
Permintaan itu disampaikan Opung ketika ia jatuh di kamarnya hampir dua tahun lalu. Saat itu Opung sudah lama sakit-sakitan. Tengah malam itu ia ingin ke kamar mandi. Jatuh. Njoo ditilpon. Njoo membawa Opung ke rumah sakit. Kepala bagian belakang Opung harus dijahit tujuh jahitan.
Sejak itu kondisi Opung kian lemah. Makannya terlalu sedikit. Banyak makanan yang dilarang: yang bergula, bergaram, berlemak, dan banyak lagi. Berat badannya tinggal 48 kg.
Saya beberapa kali ingin menjenguk Opung. Tidak berhasil. Opung tidak mau dijenguk siapa pun. Hanya Njoo yang bisa bertemu Opung. Atau anak-anak dan menantunya.
Opung sendirian di rumah besar di daerah elite Simprug Jakarta. Istrinya punya rumah sendiri. Pun anak-anaknya.
Saya pernah bermalam di vila Opung yang di tebing Danau Toba. Waktu itu Opung membuat panggung besar di Balige. Untuk saya. Penyanyi top nasional asal Tapanuli, Judika, jadi bintang panggung yang luar biasa.
Petangnya kami berperahu menyeberang Danau Toba. Kami bermalam di vila. Kami juga berenang-ria di tepian danau itu, di depan vilanya.
Opung termasuk tokoh yang ingin agar saya jadi calon presiden. Saya diminta ikut konvensi calon presiden Partai Demokrat. Opung termasuk orang penting di partai itu. Di dewan pembina.
Kepada Opung saya memang lapor: dua kali diminta Presiden SBY untuk ikut konvensi. Saya sendiri tidak ingin ikut konvensi. Tapi Opung terus mendorong agar saya menerima permintaan itu.
”Saya sendiri akan jadi ketua tim sukses Adinda,” ujar Opung. ”Saya ada kantor kosong di Capital. Bisa Adinda pakai,” tambahnya. Opung tahu saya juga tinggal di Capital. ”Kalau ke kantor tinggal pindah lift,” tambahnya.
Maka Robert Njoo pun ikut aktif mengurus strategi pemenangan saya. Ikut diskusi-diskusi dengan tim pemenangan dari berbagai golongan yang lain.
Saya semakin tahu Opung. Termasuk keinginan tertingginya untuk bisa mendapat tambahan bintang di masa purnawirawannya. Ia berharap Presiden SBY bisa memberinya satu bintang lagi. Biar pun itu bintang kehormatan.
Opung melihat banyak muridnya yang juga dapat tambahan bintang di kala sudah pensiun. Pun belakangan, Prabowo juga dapat tambahan bintang setelah menjabat menteri pertahanan.
Opung gagal mendapatkannya. Itu terus jadi pikirannya.
Opung pernah curhat secara terbuka soal itu. Di wilayah utara Sulawesi Selatan. Dari podium ia menunjukkan kemampuan terhebatnya dalam menyindir Pak SBY.
Hari itu ia memang memberi sambutan sebelum giliran Presiden SBY berpidato. Rupanya Opung menumpahkan seluruh kekecewaannya. Saya sampai agak risi mendengarnya.
Opung juga sangat kecewa di akhir konvensi itu: tidak diumumkan hasilnya. Ia lebih kecewa dari saya. Justru saya yang terus menyabarkan hatinya. ”Saya tidak apa-apa, Opung. Sudah takdir saya,” kata saya pada beliau.
Saya memang tidak sekali pun berkomentar soal akhir konvensi itu di media. Saya selalu bisa menerima takdir saya.
Opung adalah jenderal yang sangat intelektual. Bacaannya luar biasa. Ia juga sangat pandai berpidato. Dalam pidatonya Opung sangat pandai mengambil hati orang dari atas podium.
Opung juga selalu menjadi ketua panitia Natal Bersama. Natal secara nasional. Presiden SBY selalu hadir. Acaranya selalu meriah.
Banyak yang mengira Opung punya saham di banyak perusahaan. Saya bersaksi: tidak sedikit pun ia punya saham di perusahaan mana pun milik orang-orang yang dibantunya. Hidupnya tidak untuk uang –meski ia tidak pernah kekurangan uang. Njoo juga menilai Opung itu ”bodoh” dalam hal uang.
Njoo merasa bersalah tidak mengantar Opung ke Balige. Tiga hari lalu Njoo nekat akan ke Balige. Mamanya menahannya. Njoo harus menunggu jenazah ayah kandung yang disemayamkan di Grand Heaven, Pluit, Jakarta.
Njoo termasuk orang pertama yang ditelepon ketika Opung baru saja meninggal. Pukul 20.00 lewat. Ajudanlah yang tahu kalau Opung sudah meninggal.
Menjelang pukul 20.00 biasanya Opung makan malam. Ditunggu tidak juga keluar dari kamar. Ketika dilongok ke kamarnya Opung seperti tertidur. Ketika dibangunkan tidak mau bangun. Opung sudah meninggal. Usianya 85 tahun. Jenazah dibawa ke RSPAD.
Di kampungnya Opung mewariskan lembaga pendidikan yang monumental: SMA Soposurung. Mutunya di atas SMA unggulan. Pendidikan disiplinnya ala militer. Lulusannya cerdik-pandai.
Opung satunya juga membangun sekolah unggulan: lembaga pendidikan DEL –singkatan Devi-Luhut Pandjaitan.
Jarak Soposurung dan DEL sangat dekat: 12 km. Capaian kualitasnya pun sangat dekat. Satu kabupaten Balige punya dua sekolah yang luar biasa hebatnya.
Dua Opung itu memang sama-sama punya perhatian yang sangat besar di bidang mutu pendidikan. Juga sama-sama menjadi menteri di hari tua mereka. Opung menjadi menteri Pendayagunaan Aparatur Negara. Ia juga pernah menjabat sekjen Kementerian ESDM. Ia bantu banyak pengusaha mendapatkan izin tambang batu bara. Ia sendiri tidak punya.
Balige melahirkan dua Opung yang luar biasa. Belum lagi Opung-opung di masa lalu.
Njoo dan saya pun bersepakat: dua minggu lagi ke Balige. (*)
Komentar