Pendukung Rusia gemas: mengapa Ukraina tidak bisa jatuh dalam 10 hari perang.
Pendukung Ukraina pun gemas: mengapa tidak terjadi perlawanan yang berarti.
Lihatlah foto yang tersiar luas ini: pasukan Rusia konvoi sepanjang 60 Km di jalan raya Ukraina, menuju ibu kota Kiev. Konvoi militer itu berjalan pelan. Truk-truk militer itu seperti beriringan tanpa celah. Peralatan tempur militer berjentrek-jentrek. Begitu terbuka. Tanpa perlindungan dari pesawat tempur Rusia di udara.
Yang bikin gemas: kok tidak ada serangan sama sekali ke konvoi yang begitu masif itu. Tidak satu pun pesawat tempur Ukraina yang menjatuhkan bom ke konvoi itu. Setidaknya yang membayang-bayanginya.
Betapa empuk konvoi itu untuk dijadikan sasaran bom Ukraina. Kalau tiga bom saja diledakkan di depan, tengah dan belakang alangkah kacaunya konvoi Rusia. Apalagi lima bom.
Mungkin konvoi itu sudah dilengkapi senjata anti serangan udara. Yang serba-otomatis.
Rusia pernah membunuh jenderal pemberontak di Chechnya dengan cara Amerika: mengirim bom jarak jauh di saat sang jenderal menggunakan telepon. Sinyal telepon itu seperti menjadi penunjuk jalan bagi bom itu menuju kepalanya.
Dan konvoi pasukan Rusia ini begitu panjangnya. Sampai bisa dilihat dari satelit. Berhari-hari pula. Bukankah sebenarnya Ukraina tinggal pilih waktu yang tepat untuk menyerangnya.
Menyaksikan konvoi itu seolah Ukraina justru mengatakan: silakan, please, masuk negara kami. Silakan menuju Kiev, ibu kota kami. Pelan-pelan saja. Tidak usah kesusu. Kalau ada logistik yang ketinggalan susulkan saja. Anda punya banyak waktu. Aman.
Seolah Ukraina tidak punya TNI-AU sama sekali. Juga tidak punya Kopassus seorang pun. Konvoi pasukan sepanjang 60 Km itu pasti bikin Jenderal Nagabonar sekali pun garuk-garuk kepala.
Presiden Ukraina Zelenskyy, memang terlihat hanya sangat mengandalkan NATO –pakta pertahanan Atlantik Utara. Yang dikira akan membelanya.
Setelah berbagai permintaan tidak dikabulkan, Zelenskyy masih minta lagi: agar NATO menetapkan no fly zone.
Artinya, pesawat siapa pun dilarang terbang di udara Ukraina.
Dengan tegas NATO menolak permintaan itu.
NATO tahu: kalau no fly zone ditetapkan, Rusia tetap akan menerbangkan pesawatnya di atas Ukraina. Berarti NATO harus menembak jatuh pesawat Rusia itu. Terjadilah perang dunia.
Eropa sendiri memang tidak terlalu menyukai Zelenskyy. Ia dianggap belum bisa menjadi pemimpin yang mendapat dukungan penuh dari dalam negeri. Dan itu terlihat dari rendahnya tingkat perlawanan atas serangan Rusia.
NATO tegas sekali: “Kami bukan bagian dari konflik ini” ujar Sekjen NATO Jens Stoltenberg, seperti tersiar luas di media dunia.
Betapa Sendiriannya Ukraina.
Dengan penegasan NATO itu, Rusia sudah memastikan akan menguasai Ukraina. Soal di hari ke berapa kita saja yang tidak sabar –takut harga-harga terus naik.
Kini begitu pe-de Rusia atas hasil akhir perang nanti. Sejak kemarin fokus Presiden Vladimir Putin justru pada pasca perang: harus bagaimana.
Kemarin Putin justru menyetujui perjanjian gencatan senjata. Isinya: untuk memberikan kesempatan kepada penduduk Kiev yang ingin melarikan diri. Agar tidak menjadi korban perang.
Ukraina juga setuju perjanjian seperti itu. Ukraina seolah mengatakan: setelah itu perang boleh dimulai lagi. Maksudnya, silakan Rusia merangsek lagi ke arah ibu kota yang sudah kosong.
Yang pro Ukraina masih punya alasan: tidak ada serangan ke konvoi untuk menghemat pesawat tempur. Untuk digunakan di babak final: saat Rusia memasuki Kiev. Daripada, misalnya, pesawat itu ditembak jatuh satu per satu saat mengincar konvoi.
Dan pasukan Rusia kemarin sudah benar-benar mengepung gelang Kiev. Dari utara. Dari barat. Dari selatan. Dan dari timur. Tidak ada tanda-tanda pesawat tempur Ukraina disiapkan untuk mengudara.
Yang ditunggu tinggal klimaks di babak akhir: ke mana Zelenskyy akan pergi. Akankah ia jadi panglima perang dadakan. Atau minta suka ke negara lain.
Ia bukan tentara. Ia juga bukan politisi berpengalaman. Ia pelawak profesional –golongan pelawak yang cerdas dan berilmu. Ia aktor film seri yang diidolakan –sebagai tokoh presiden yang ideal: di serial itu.
Maka, setelah pasukan Rusia merangsek ke berbagai penjuru Ukraina, ia masih bisa membuat langkah seperti tokoh di dalam film parodi. Hanya kali ini beneran. Di dunia nyata.
Ia mengajak Putin berunding. Dengan cara bertemu langsung.
Ajakan itu bagus. Tapi nada ajakan itu benar-benar seperti di naskah skenario film parodi. Pakai satire segala. Lihatlah ajakannya untuk berunding dengan Putin di bawah ini. Seolah ia seorang presiden sekaliber Macron:
“Satu-satunya cara mengakhiri perang ini kalau saya bertemu Anda. Secara langsung. Kami tidak punya rencana menyerang Rusia. Apa yang Anda inginkan dari kami? Pergilah dari tanah kami.
Duduklah bersama saya. Tapi jangan berjarak sampai 30 meter seperti ketika duduk dengan Presiden Prancis Macron”.
Tentu itu bukan ajakan berunding yang tulus. Itu adalah kata-kata untuk menghina Putin. Yang waktu bertemu Macron jarak duduk mereka memang begitu jauh. Satu di ujung meja sini, satunya lagi di ujung sana. Terlihat tidak akrab. Meski tentu tidak sampai 30 meter.
Sebagai wartawan saya suka membaca pernyataan seperti itu. Enak untuk dijadikan tulisan. Pukul sana, pukul sini. Tapi yang dipertaruhkan ini negara –mengapa punya sikap seperti itu.
Lalu apa sih maunya Rusia –setelah menguasai Ukraina?
Kata Putin: Rusia tidak ingin menduduki Ukraina. Tapi juga janganlah Ukraina jadi lawan Rusia.
Putin ingin –seperti pernah saya baca di komentar pembaca Disway– Ukraina jadi negara yang bebas militer. Dalam versi pembaca Disway: seperti Swiss.
Maka, Putin, sejak kemarin, sibuk kampanye baru. Seolah perang sudah akan selesai: kerja sama internasional harus kembali terjalin. Terutama kerja sama ekonomi. Ia ingin agar seluruh sanksi untuk Rusia diakhiri.
Akankah di babak akhir ini Zelenskyy tiba-tiba bisa jadi joker yang membalikkan semua kepastian Rusia? (Dahlan Iskan)
Komentar