SAYA belum akan mengambil kesimpulan apa pun. Soal emas enam ton ini terlalu ruwet untuk dipahami hanya dalam hitungan jam. “Soal ini baru akan jelas kalau ada audit forensik seluruh transaksi di Antam sepanjang tahun 2018,” ujar Retno Chandra, pengacara terdakwa Eksi Anggraeni.
Retno baru menjadi pengacara Eksi di perkara tipikor yang sekarang sedang disidangkan di Pengadilan Tipikor Surabaya. Dia belum jadi pengacara Eksi di perkara pidana pertama dan kedua.
Retno sarjana hukum lulusan Universitas Wijaya Kusuma Surabaya. Dia orang Ngunut, satu kecamatan di Blitar. Ayahnya Tionghoa, ibunya Jawa Blitar.
Sedang Eksi lahir di pelosok desa di selatan Lumajang: desa Tempeh. Sampai SMA di sana. Marganya Liem. Dia tidak kuliah. Eksi langsung bekerja. Membantu usaha konveksi keluarga. Ayah Eksi meninggal muda: 50 tahun. Dia ingin adiknyi yang kuliah. Dia yang cari uang untuk biaya mereka.
Setelah pindah ke Surabaya Eksi usaha katering. “Kalau ada pengantin di gang-gang kampung saya yang atur tenda, kursi dan makanannya,” katanyi. Eksi pandai masak. Khususnya rawon. Itu kepandaian Eksi yang dibawa sejak dari Tempeh.
Eksi harus cari uang. Perkawinannyi gagal. Punya satu anak. Perempuan. Sang anak kini sudah kawin. Tinggal di Amerika. Ikut suami.
Sang anak sebenarnya tidak mau cepat-cepat kawin. Dia ingin mendampingi sang ibu yang terus dilanda perkara. Tapi sang ibu yang mendesaknyi untuk menerima lamaran. Perkara yang dihadapi sang ibu begitu banyak. Yang sudah dijatuhi hukuman saja dua perkara. Yang sedang disidangkan satu perkara. Yang akan menyusul masih banyak perkara.
Eksi seperti putus asa. Usianya baru 55 tahun. Tapi wajahnya sudah seperti 65 tahun. Posturnyi tinggi besar. Dia sempat terkena stroke. Juga sempat terpikir untuk bunuh diri. Karena itu dia mendesak anak tunggalnyi untuk mencari kehidupan sendiri.
Eksi kini hanya bersama ibunyi. Sudah tua. Dia tinggal di rumah kontrakan. “Tidak punya rumah lagi. Tidak punya apa-apa lagi,” katanya. Rumah kontrakan itu pun anaknyi yang mengontrakkan.
Rumahnyi, kata Eksi pada saya, disita secara paksa oleh Budi Said. Demikian juga tanah-tanahnya. Sertifikatnya diambil. Eksi disekap. Dipaksa menandatangani akta peralihan aset itu. Salah satunya berupa tanah yang dia niatkan untuk membangun gereja. Eksi adalah jemaat Gereja Mawar Sharon.
Pun perhiasan-perhiasannyi. Diambil semua.
Eksi menceritakannya secara detail. Lain kali bisa saya bagikan pada Anda.
Saya baru jelas: Eksi bukan karyawan Antam. Tidak pula bekerja di Antam.
Awalnya Eksi jadi perantara jual beli emas kecil-kecilan. Dengan teman segereja. Lalu meningkat ke hitungan kilo. Terakhir dalam hitungan ton.
Pun dalam perkara dengan Budi Said, Eksi lebih sebagai perantara. Budi, kata Eksi, mengirim uang langsung ke rekening perusahaan Antam. Emas enam ton itu juga diambil langsung oleh orang kepercayaan Budi Said. Secara bertahap. Kira-kita 178 kali pengambilan. Dalam satu tahun. Sejak Januari sampai Desember 2018.
Di setiap pengambilan, Eksi hanya ikut menyaksikan. Pun Budi Said.
Menurut Eksi, transaksi itu awalnya lancar. Setiap ada kiriman uang –dari Budi Said– emasnya dikirim –ke Budi Said. Telat beberapa hari saja. Telat antara 8 sampai 12 hari. Dianggap tidak ada masalah.
Begitu memasuki bulan Agustus pengiriman emasnya tersendat. Eksi ditabrak banyak orang. Tidak hanya Budi. Pembeli emas lainnya juga mendesak Eksi untuk mendapatkan emas mereka. Uang mereka sudah masuk. Emasnya belum datang.
Mereka itulah yang sekarang juga antre memperkarakan Eksi ke polisi.
Eksi terus menangis. Dia ingat ibunyi: sendirian di rumah kontrakan. (*)
Komentar