SAYA duduk di belakang anak-anak Camelia Malik. Juga di dekat teman-teman lama Ahmad Albar. Saya sendiri mengajak tamu yang bersama saya datang dari Beijing. Mereka tidak tahu God Bless. Tapi bisa menikmati konser 50 tahun kelompok Ahmad Albar itu: Jumat malam kemarin.
”Berarti berapa umur Ahmad Albar sekarang?” tanyanyi.
”几十几岁,” jawab saya.
Mereka terkagum-kagum. Umur segitu masih sangat sehat. Jauh dari gambaran umur 77 tahun. Masih jauh lebih enerjik Ahmad Albar dibanding penyanyi Padi, Fadly, yang mengawali konser ini. Fadly, anak bangsawan Bugis yang jadi Arek Suroboyo itu membawakan lima lagu malam itu.
Ahmad Albar, kata Buddy ACe, wartawan yang akrab dengan God Bless, melakukan latihan berat menghadapi konser ini. Sejak tiga bulan lalu. Ahmad Albar dikenal tidak suka berolahraga. Badannya tetap langsing. Geraknya seperti 17 tahun lebih muda.
”Luar biasa sehatnya,” ujar si Beijing.
”Masih bisa bikin anak,” sahut orang yang duduk di depan saya. Rupanya ia bisa menangkap percakapan Mandarin kami.
”Anda siapa?” tanya saya.
”Saya teman lama Iyek,” katanya. Iyek adalah panggilan Ahmad Albar. ”Tahun lalu saya ultah besar-besaran di Sheraton. Iyek yang tampil. Tanpa mau dibayar,” tambahnya. Umurnya setahun lebih tua dari saya. Istrinya wanita Filipina. Jauh lebih muda.
Pertemanan mereka terjadi saat night club Tropicana masih ada di Jakarta. Masih baru. Selalu bertemu di situ. Minum-minum bersama.
Iyek memang dikenal suka kehidupan malam. Bahkan sempat masuk penjara terkait narkoba. Divonis 8 tahun. Tidak hanya sebagai pengguna. Ia juga dituduh menyembunyikan penyalur narkoba.
Narkoba jugalah yang membuat Iyek pecah kongsi dengan Jockie. Sampai bertengkar hebat. Pistol pun digunakan. God Bless pecah.
Konser 50 God Bless kemarin lebih bersifat konser Ahmad Albar –dibanding konser God Bless. Beberapa lagu Iyek yang di luar God Bless ikut dinyanyikan. Memang God Bless adalah Iyek, pun sebaliknya. God Bless empat kali berganti formasi. Ahmad Albar yang abadi.
Konser ini membuat Anda pun sadar: terasa sekali kekurangan Indonesia di bidang pembangunan kebudayaan. Pun Jakarta. Belum punya gedung konser yang besar. Istora Senayan ini sangat tidak memenuhi syarat. Akustiknya jelek sekali. Padahal malam itu God Bless diiringi orkestra Tohpati. Betapa sangat mengagumkan bila digelar di gedung konser yang bener.
Memang sudah ada gedung pertunjukan dengan akustik nyaris sempurna. Milik swasta: Ciputra. Di Casablanka. Tapi kapasitasnya hanya 1.000 orang. Ada yang lebih besar. Di Kemayoran. Tapi itu gereja. Atau ada yang sedikit lebih besar di Sentul. Pun kurang besar untuk ukuran konser masal yang serius.
Kesenian-kebudayaan memang dikalahkan oleh politik dan olahraga. Maka sosok Ahmad Albar terasa lebih besar dari Istora.
God Bless sendiri seperti lahir dari gedung kesenian: Taman Ismail Marzuki. Penampilan pertamanya dilakukan di pusat kesenian di Jalan Cikini Raya Jakarta itu. Tanggal 5 Mei 1973. Saat Albar sudah berumur 27 tahun.
Siapa pun sepakat bahwa penampilan di TIM itu sangat sukses. Fenomenal. Nama Albar melambung. Melejit. Meroket.
Saat itu Albar memang punya rasa percaya diri yang besar. Tidak dimiliki pemusik lain di dalam negeri. Ahmad Albar merasa ”lulusan” Belanda. Ia memang belum lama pulang dari Belanda. Ia lama di Belanda. Lebih lima tahun.
Waktu lulus SMA, Jakarta lagi kisruh: ada G30S/PKI. Albar ke Belanda. Ada pamannya di sana. Albar tidak sekolah di sana. Ia kenal anak-anak yang suka musik di sana. Ia belajar gitar di sana. Ia diajak menyanyi di pub-pub di sana.
Pulang ke Indonesia ia merasa lebih pede. Lalu ia ajak gitaris di sana untuk pulang ke Indonesia: Ludwig Lemans. Keturunan Indonesia. Ludwiglah yang jadi gitaris saat mereka tampil di TIM. Ian Antono, gitaris legendaris Indonesia belum gabung ke God Bless saat itu.
Melihat konser God Bless kemarin malam saya mengingat-ingat: sudah adakah buku yang terbit tentang Ahmad Albar. Seingat saya belum ada.
Mengapa.
Saya pun menghubungi Buddy ACe. Ia nonton di deretan depan saya. Ia kakak Abdi Negara, vokalis Slank. Ia menjadi moderator saat diskusi tentang God Bless di ulang tahun yang ke 40.
”Sebenarnya sudah ada yang menulis buku tentang God Bless. Sudah sejak sembilan tahun lalu,” ujar Buddy. ”Tapi Ahmad Albar belum setuju,” tambahnya.
Buddy mengatakan sudah membaca draf buku tersebut. Isinya banyak yang belum diketahui orang. ”Semacam untold story Ahmad Albar,” kata Buddy.
Penulis buku tersebut seorang wartawan. Tapi ia menulis lebih sebagai penggemar God Bless. ”Sudah sekitar sembilan kali ia minta izin ke Ahmad Albar. Belum diizinkan,” kata Buddy.
Mungkin menunggu konser God Bless 75 tahun. Atau 100 tahun. Dan saya janji akan menontonnya lagi. (*)
Komentar