KUPANG – Wahana Lingkungan Hidup Nusa Tenggara Timur (WALHI NTT) bersama Aksi! for gender, social, and ecological justice telah menyelenggarakan dialog Multipihak yang membahas tentang perlindungan, pengakuan hak dan akses perempuan untuk mengakhiri ketimpangan ekonomi dan gender di NTT.
Forum ini menjadi ruang bagi perempuan untuk menyuarakan keresahan mereka terkait ketimpangan ekonomi dan gender yang dialami perempuan NTT.
Pantauan kupangterkini.com, dalam acara tersebut beberapa narasumber adalah perempuan nelayan, perempuan penyintas pekerja migran, perempuan petani.
Mariance Kabu, seorang penyintas pekerja migran bercerita banyak hal terkait masalah yang dihadapi, kerentanan-kerentanan yang kerap dihadapi oleh perempuan ketika menjadi pekerja migran di negara tetangga atau negara lain.
“Dalam kejadian itu tidak ada saksi mata yang menyaksikan secara langsung, kecuali saya dan mantan majikan saya hanya dua orang selain itu CCTV. Tapi CCTV sekarang sudah tidak ada lagi,” tuturnya.
Forum juga mendiskusikan bahwa persoalan serius seperti ini yang dialami oleh pekerja migran tidak boleh berulang. Mengingat tidak sedikit perempuan di NTT yang akhirnya memilih untuk menjadi pekerja migran karena minimnya pilihan serta peluang untuk bertahan hidup di tanah kelahiran.
Selanjutnya, Yasinta Adu perempuan nelayan pesisir pasir panjang juga menceritakan keresahannya terkait penurunan hasil tangkapan nelayan sebelum dan sesudah dilanda badai seroja pada awal tahun 2021 lalu yang menyebabkan alat tangkap seperti perahu dan pukat rusak akibat hantaman badai tersebut.
Namun sekarang mereka tidak lagi dapat berjualan di daerah pesisir akibat pembangunan perhotelan mewah yang menutup akses perempuan terhadap wilayah pesisir.
Selanjutnya, Len Seorang petani rumput laut dari desa Lifuleo, Kupang barat bercerita tentang dampak limbah PLTU batu bara yang merusak ekosistem laut dan menurunkan produktifitas rumput laut yang merupakan pekerjaan utama mereka.
Sebelumnya, berhasil membiayai kehidupan mereka sehari-hari dan menjadi sumber biaya pendidikan anak-anak mereka.
Ia juga menolak solusi dari dari dinas Perempuan yang ingin memastikan, untuk bisa mempermudah masyarakat untuk mendapat pinjaman dari bank.
Selain itu ada Isna seorang perempuan pesisir yang juga meyampaikan keresahannya atas situasi pesisir yang semakin tidak mengakomodir kepentingan nelayan.
Selain nelayan, petani juga terancam akibat pembangunan bendungan kolhua. Masyarakat TDM korban seroja yang direlokasi menceritakan bagaimana kesulitan mereka di sektor ekonomi karena mereka hanya diberikan akses tempat tinggal namun justru menjauhkan mereka dari lapangan kerja karena lokasi relokasi yang terlalu jauh.
Di lain sisi, beberapa perwakilan dari dinas terkait juga menjadi narasumber seperti DP3A, DLHK, Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan.
Selain mengapresiasi inisiasi dari WALHI NTT dan AKSI!, secara umum perwakilan dinas terkait yang hadir menyampaikan bahwa Kemiskinan yang dialami oleh perempuan NTT tidak lain karena kelalaian masyarakat khususnya petani dan nelayan.
Selain itu, problem yang dihadapi oleh perempuan petani dan nelayan NTT disebabkan oleh budaya patriarki yang masih sangat mengekang perempuan dan menempatkan perempuan pada posisi ke dua dalam masyarakat.
Dari kalangan akademisi, Non Govermental Organisation (NGO), dan perwakilan media juga menyampaikan keprihatinan mereka atas situasi perempuan petani dan nelayan sebagai sebuah situasi yang bukan semata-mata merupakan masalah yang disebabkan oleh masyarakat itu sendiri melainkan sebuah bentuk pemiskinan secara struktural akibat lemahnya sistem tata kekuasaan, tata kelola, tata produksi dan tata konsumsi sehingga menyebabkan adanya ketimpangan ekonomi dan gender di NTT.
Dengan dilaksanakan dialog multipihak ini, masyarakat dapat menilai keseriusan pemerintah dalam hal ini dinas terkait dalam melihat ketimpangan ekonomi dan gender yang dihadapi oleh perempuan petani dan nelayan di NTT.
Respon dinas terkait yang cenderung menyalahkan masyarakat dalam problem ketimpangan ekonomi dan gender di NTT adalah bukti bahwa pemerintah belum begitu mampu melihat persoalan yang ada secara mendalam.
Karena pada dasarnya pemerintah punya tanggungjawab penuh atas ketimpangan ekonomi dan gender sebab rakyat menitipkan kedaulatannya kepada pemerintah untuk dipergunakan sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat.
WALHI NTT dan AKSI! menuntut agar pemerintah melalui dinas terkait yang hadir dalam dialog tersebut agar dapat melihat persoalan yang dihadapi oleh perempuan petani dan nelayan NTT, sebagai prosoalan struktural yang sifatnya sitemik karena persoalan yang ada juga merupakan imbas dari kebijakan yang tidak mewakili kepentingan perempuan di NTT.
laporan : yandry imelson
Komentar