Muncul duluan bisa berarti digebuki duluan. Tak terkecuali pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar.
Masih terlalu dini sebenarnya pasangan ini dideklarasikan. Masih ada waktu 2,5 bulan lagi. Anda sudah tahu: pendaftaran capres-cawapres baru dibuka tanggal 19 Oktober depan.
Lima tahun lalu dua pasangan capres-cawapres mendaftar di hari-hari terakhir. Pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin baru mendaftar di hari terakhir: tanggal 10 Agustus 2018. Saat itu Cak Imin ikut ke KPU. Hampir selalu berada di samping KH Ma’ruf Amin.
Pasangan Prabowo-Sandiaga Uno mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) sehari sebelumnya. Saat itu Ketua Umum Partai Demokrat, AHY, ikut mengantar. Cak Imin dan AHY sudah berpengalaman melihat cara mendaftar ke KPU. Mungkin hanya Cak Imin yang akan datang kembali ke KPU sebagai capres-cawapres.
Waktu itu masa pendaftaran pendek. Hanya 6 hari. Antara tanggal 4 sampai 10 Agustus 2018. Tahun ini masa pendaftaran panjang: lebih satu bulan (19 Oktober sampai 25 November). Anies-Muhaimin memilih deklarasi dini.
Maka mulai pagi ini bisa dimulai: ritual menggebuki Amin (Anies-Muhaimin). Calon pemimpin memang harus ditelanjangi –sisakan celana dalam saja. Waktunya pun cukup untuk bisa membuat mereka babak-belur.
Pun yang akan mengadu domba punya waktu longgar. Siapa tahu mereka masih bisa diceraikan. Toh janur kuning belum melengkung di depan pintu KPU.
Boleh dikata, dalam 2,5 bulan ke depan segala macam isu akan menyangkut dua orang itu. Kecuali Ganjar Pranowo segera mengumumkan calon pasangannya: dari kalangan NU atau purnawirawan jenderal.
Prabowo mungkin akan lebih belakangan. Siapa tahu menunggu putusan Mahkamah Konstitusi soal batas usia minimal calon wapres. Siapa tahu syarat umur 40 tahun bisa dipermuda menjadi 35 tahun. Dengan demikian Prabowo bisa menggandeng Gibran, wali kota Solo yang juga putra Presiden Jokowi. Atau, ya sudah, cepetan saja. Gandeng Erick Thohir, menteri BUMN saat ini.
Ganjar dan Prabowo harus berhitung: untung mana cepet-cepet atau mepet-mepet.
Lebih awal digebuki memang bisa lebih populer, tapi siksaan dari medsos itu begitu kejam. Brutal. Sadis.
Bukan hanya medsos. Para ”dalang” politik juga punya waktu cukup untuk menggagalkan pencalonan mereka. Siapa tahu bisa dibuat seperti Panji Gumilang dari Al Zaytun: didemo tiap hari. Sampai akhirnya dijadikan tersangka.
Lalu pasangan satunya lagi juga bisa ”didalangi” seperti itu. Siapa tahu bisa menghemat keuangan negara: tidak jadi ada Pemilu. Berapa triliun rupiah bisa dihemat.
Bisa saja, sebenarnya, tidak ada dalang seperti itu. Jangan-jangan itu hanya khayalan saya saja. Terutama setelah sebulan terakhir menonton dalang Masnda Yusuf Anshor lebih dari 15 lakon. Begitu maju cara Masnda Yusuf mendalang. Begitu laris. Begitu populer. Inilah anak kelas 1 SMA paling berprestasi saat ini.
Ia dipanggil ”Masnda” karena belum layak dipanggil Ayahanda. Atau kakanda. Tapi juga tidak kelas kalau harus dipanggil Adinda. Di Jawa, anak kecil pun biasa dipanggil ”Mas” sebagai bentuk penghargaan.
Anies dan Muhaimin bukanlah wayang. Tapi para dalang bisa membuat mereka sebagai lakon pewayangan.
Anies-Muhaimin sudah memilih deklarasi dini. Bahwa lokasi deklarasinya di Surabaya Anda sudah tahu: Jatim basis NU.
Pun ketika hanya NasDem dan PKB yang mendeklarasikan. Itu sudah cukup. Kursi parlemen dua partai itu mencapai 117, melebihi batas minimal 115 kursi.
Bahwa PKS tidak ikut di Surabaya bisa jadi itu taktik: jangan terlalu menampilkan PKS.
Pertama, jumlah kursi sudah cukup. Kedua, NU kurang suka pada PKS. Ketiga, sampai sekarang PKS belum pernah secara resmi mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai capres.
PKS, di pergulatan ini, terlihat sangat dewasa. Mungkin karena PKS memang sudah berubah.
Jangan sampai Anda tidak tahu: Ketua Majelis Syura (Syuriah) PKS saat ini, Ustad Salim Segaf Al Jufri, adalah ulama NU. Jangan pula tidak tahu: Presiden PKS sekarang ini adalah NU tulen, KH Ahmad Syaikhu. Dan lagi: ketua PKS Jatim saat ini juga orang Madura nan NU, Irwan Setiawan.
Maka belum tentu PKS akan berada dalam koalisi baru bersama Demokrat dan PPP. Kalau ini terjadi, akankah ada 4 pasangan? Tidak belajarkah bahwa ikut Pilpres itu mahal sekali?
Saya tidak berhasil mencari tahu mengapa lokasi deklarasinya di Hotel Majapahit. Di backdrop acara ditulis Hotel Yamato. Tapi saya tahu: hotel boutique ini sekarang milik konglomerat Murdaya Poo. Bisa juga tidak ada hubungan dengan Poo. Itu lebih karena di hotel ini pernah ada peristiwa heroik: 19 September 1945. Sejumlah pejuang naik ke menara di atas hotel itu. Mereka naik tangga. Lalu naik tiang bendera. Mereka merobek bendera Belanda, Merah-Putih-Biru menjadi tinggal Merah-Putih.
Kemarin, setelah deklarasi, Anies-Muhaimin naik ke menara itu. Berdua. Sama-sama pakai baju putih dan kopiah hitam. Di dekat keduanya terbaca prasasti peristiwa di tahun 1945.
Letak hotel itu di Jalan Tunjungan. Bagi yang sudah lama tidak ke Surabaya mungkin mengira Jalan Tunjungan masih mati. Sepi. Gelap.
Tidak. Jalan Tunjungan kini kembali sangat ramai. Wali Kota Eri Cahyadi sudah berhasil menghidupkan Jalan Tunjungan. Secara fisik Wali Kota Risma-lah yang mengubah Jalan Tunjungan menjadi lebih berkelas. Tapi Wali Kota Eri yang menghidupkannya. Dua-duanya kader PDI-Perjuangan. Banyak kepala daerah berprestasi dari partai kepala banteng ini.
Maka ketika di Hotel Majapahit berlangsung deklarasi, di pinggir barat Jalan Tunjungan sejumlah simpatisan PDI-Perjuangan membawa pengeras suara: mereka tiada henti menyanyikan lagu GanSi GanBeh (Ganjar Siji Ganjar Kabeh). (*)
Komentar