Koran Berlumur Darah
Oleh: Hasan Aspahani
LSM Woman Worker Care memberi kami data laporan ratusan pekerja wanita di tempat-tempat hiburan malam di Borgam.
Beberapa kasus pelecehan, upah yang tak dibayar, kontrak yang tak ditaati, dan laporan kematian yang tak pernah diproses polisi.
Saya teringat cerita Pak Rinto dan Pak Azhari, yang membuat seorang keluar dari dinas polisi dan yang lain berhenti jadi wartawan.
Masalah yang dihadapi para pekerja itu belum berubah banyak ternyata. Widi Rahayu, menerima saya dan Nurikmal di kantornya yang kecil, sedikit staf, dan penuh berkas, ruang lantai 2 sebuah ruko. Di bawahnya salon yang terkesan mahal dan sibuk. Pemilik salon itu menyewakan lantai 2 kepada Woman Worker Care.
”Saya sudah sering kirim laporan kami ke media lokal juga media Jakarta, tak banyak yang memuat, malah nyaris tak ada,” kata Widi, perempuan awal 30-an, tampak sudah sangat matang, gesit, dengan kesederhanaan penampilan yang memancarkan kecerdasan.
Dia alumnus publisistik di perguruan tinggi di Bandung. ”Kami belum pernah menerima kayaknya,” kata saya. ”Tadinya kami kira Dinamika Kota sama saja dengan media lain. Tiarap semua,” kata Widi, agak ketus, spontan. Blak-blakan dan berani, tampaknya memang jadi ciri khas orang-orang LSM.
LSM yang benar, yang masih berjalan di rel idealismenya. Banyak LSM yang hanya jadi kendaraan para aktivisnya untuk kepentingan pribadi. Di mana-mana banyak begitu, di Borgam ini juga sama saja. Dari data ratusan laporan yang direkap Woman Worker Care sekilas saya melihat banyak sekali laporan terkait Bluebeach Resort. Saya menanyakan itu ke Widi.
”Para pekerja perempuan yang bekerja di resort itu memang sedang jadi perhatian kami,” katanya. ”Apalagi setelah kami menemukan fakta yang – memang masih samar – tapi bisa jadi terkait dengan kasus pembunuhan yang teman-teman beritakan tiap hari itu,” kata Widi. ”Pembunuhan Putri?” tanya Nurikmal. ”Iya. Coba lihat ini,” kata Widi sambil menyerahkan fotokopi akta sebuah badan hukum berbentuk pendirian perusahaan.
Bidang usahanya penyelenggara kegiatan hiburan, event organizer, pemasok tenaga kerja entertainment, artist management, modelling agency. ”Ini apa kaitan dengan Bluebeach Resort?” tanyakku. ”Coba lihat kontrak kerja sama ini,” kata Widi menyorongkan kepada kami Salinan surat kontrak kerja sama. Kerja sama antara Bluebeach Resort dan perusahaan tadi yang salah satu komisarisnya adalah Putri Soraya Malingkas.
”Ini nama lengkap Putri, istri AKBP Pintor,” kata Nurikmal. ”Di akta dia posisinya komisaris. Dari penyelidikan kami, dalam praktiknya dia seperti direktur utama bahkan dia kayak GM-nya, dia terlibat langsung di operasional, inilah perusahaan yang mengelola kasino gelap itu,” kata Widi. ”Polisi kok tak pernah menyampaikan soal ini ke publik, ya? Maksud saya soal keterkaitan Putri dengan kasino gelap itu,” kataku.
”Nah, teman-teman curiga, nggak? Kami setelah menerima data ini malah jadi takut dan hati-hati. Ini informasi sensitif sekali. Berbahaya kalau ada yang tahu bahwa kita tahu tentang ini,” kata Widi. ”Semua kasus ini terkait dengan Putri ya, kasino gelap, mobil bodong, dan bermuara ke pembunuhannya. Dia sepertinya terlalu banyak ambil peran, dan terlalu banyak tahu. Pada satu titik, ada yang berubah pikiran, atau ada yang tak terkendali, lalu banyak yang merasa terancam,” kataku.
Widi memberi kami fotokopi akta dan kontrak kerja sama itu. Saya dan Nurikmal memutuskan untuk bertemu dengan pengacara Restu Suryono. Ingin bertanya apakah dia pernah menangani kasus pekerja perempuan.
Sebelum kasus Putri meledak dan dia jadi pengacara Awang dan Runi, saya agak kerap menemui dia, untuk urusan Pesantren Alhidayah, di mana dia rutin memberi donasi. Demi netralitas, saya membatasi bahkan tak pernah bertemu dengannya, selama sidang kasus pembunuhan Putri berlangsung.
Restu mengingatkanku pada sosok Soeharto. Tenang, tindakannya terukur, tak pernah menampakkan emosi secara terbuka. Dia selalu tersenyum. Smiling lawyer, saya menggelarinya begitu. Smiling lawyer and politician, kata dia menambahkan.
Seperti Soeharto di sangat Jawa. Tapi dia Jawa yang terbuka, membuka tangan dan yang merangkul banyak orang. Ia mendirikan dan membesarkan ormas berbasis pemuda: Garuda Muda Nusantara. Terkenal dengan nama yang gagah dan mudah sekali diingat: Garda Nusa.
Ormas ini merangkul pemuda lintas etnis dan golongan. Itu sebabnya, saya kira, kepemimpinannya di partai besar itu berhasil. Dalam beberapa pemilu partainya menang di Borgam. Partainya memainkan peran penting di perpolitikan di Borgam.
Bahwa posisinya sebagai pembela terdakwa Awang dan Runi dalam kasus pembunuhan Putri ini melambungkan namanya, itu tak terbantahkan, tapi kami menilai dia memang pengacara yang baik. Banyak kasus ia menangkan.
”Mau ketemu di mana, Mas Abdur? Di kantor saya atau di luar?” katanya. Saya memilih kantornya, tak terlalu jauh dari kantor LSM Woman Worker Care. Restu menyambut kami dengan hangat. Dengan penampilan yang selalu rapi dan necis.
Kami menunggu sebentar di teras lantai 2 kantornya yang terbuka – biar bisa ngobrol santai sambil merokok, katanya – lalu datanglah ia dengan tiga berkas tebal. Langsung saya menduga itu berkas dakwaan dan BAP kasus pembunuhan Putri. Persis seperti yang saya terima dari Pak Rinto.
”Kalau baca dakwaan ini, sulit bagi Pintor untuk bebas dari hukuman. Terlalu jelas perannya, sangat kuat bukti-buktinya,” kata Restu. ”Mas Dur saya fotokopikan ya?” tanya Restu.
Saya iyakan saja. Pura-pura bahwa kami belum punya berkas itu. Kalau pengacara yang mendapatkannya saya kira itu wajar, dia memang bekerja untuk membela kliennya.
Kalau Pak Rinto? Orang sipil biasa itu? Saya hanya bisa membayangkan ada jejaring pengaruh yang bisa digerakkan olehnya. Restu menjelaskan sulit bagi kliennya untuk bebas, tapi dia akan perjuangkan hukuman yang seringan-ringannya.
Makanya dalam sidang-sidang dua kliennya tak pernah berbelit-belit dan tak pernah ragu memberikan keterangan. Sangat kooperatif. Itu akan jadi hal yang meringankan. Tugasnya untuk meyakinkan majelis hakim bahwa otak dari kasus ini –adalah AKBP Pintor – dan dia harus jadi tersangka sudah tercapai.
Tentang Woman Worker Care kami dapat info tambahan yang menarik dari Restu. Ia pernah menangani kasus pekerja perempuan yang diadvokasi oleh LSM tersebut. ”Biayanya waktu itu dibantu Pak Rinto. Secara tidak langsunglah. Dibayar dari dana CSR perusahaan yang dia komisarisnya,” kata Restu.
Di luar percakapan soal kasus Putri dan LSM itu, pengacara Restu menawari saya untuk bergabung di tim suksesnya. Beberapa kali kami memuat berita pernyataannya siap maju di pilwako Borgam. Ia menyatakan diri siap berkompetisi sebagai calon wali kota, tapi dia realistis saja. Secara politis lebih besar peluang menang apabila dia mengambil posisi wakil wali kota untuk calon Alkhaidir, tokoh Melayu nonpartai, yang sangat populer itu.
”Mas Restu pasti saya bantu, tapi jangan masukkan secara resmi di tim sukses,” kata saya berbasa-basi. ”Kalau perlu Nurikmal atau nanti wartawan kami yang lain kami tugaskan khusus untuk menulis berita-berita terkait Mas Restu. Apalagi kalau Mas Restu pasang iklan,” kata saya, mengeluarkan sedikit jurus marketing dalam diri saya.
”Tenang, Mas Abdur. Kalau soal itu, saya mengertilah. Sudah ada bujetnya. Dari partai ada. Dari sumber lain juga ada. Nanti ketemu Pak Ameng, ya,” katanya. Saya ingat, Bang Ameng adalah pengurus partai lain yang sudah nyatakan berkoalisi dengan partainya Mas Restu di pilwako. Dalam perjalanan kembali ke kantor, Nurikmal bertanya soal netralitas media kami di pilwako nanti, peristiwa politik besar yang prosesnya sudah berjalan. Pemanasan yang cepat panas, dan terlalu panas.
Yang saya dapatkan dari bos kami Indrayana Idris, terkait soal ini sangat jelas. Saya ingat apa yang ia katakan, ”kita beri kesempatan yang sama pada semua pihak yang berkompetisi. Itu inti netralitas.
Kesempatan yang sama artinya tak boleh kita tolak kalau ada yang mau pasang iklan atau kirim rilis, atau bikin jumpa pers. Kita liput, kita muat. Kalau mereka tak kirim rilis, tak bikin kegiatan yang layak diberitakan, tak mau atau tak ada anggaran pasang iklan ya itu salah mereka.
Kesempatan yang sama itu artinya kita kasih mereka tarif iklan yang sama dan diskon yang sama, kalau mereka minta diskon,” katanya. ”Kita boleh memihak, Bang?” ”Secara pribadi boleh. Kita di kantor masing-masing boleh punya kecenderungan politik yang berbeda-beda. Bebas saja.
Sebagai institusi pers, kita pada dasarnya harus netral, ya netral seperti kata Pak Indrayana itu. Tapi, kalau pada saat tertentu kita tahu persis bahwa calon tertentu lebih baik bagi publik apabila ia yang menang, kita boleh berpihak.
Diam-diam atau lebih baik secara terbuka nyatakan saja kita dukungan kita. Pada saat itu kita jadi aktivis, sesekali boleh saja, tapi setelah kompetisi selesai, kita kembali jadi jurnalis lagi. Orang yang kita dukung, kalau ia salah, lalai, lupa janji kampanye, kita kritik dia. Sekeras-kerasnya.
Kenapa? Karena kita ikut membuat dia terpilih,” kataku. ”Apa tak ditinggalkan pembaca nanti kalau kita berpihak?” ”Makanya saya bilang, kalau kita yakin kemenangan satu calon baik untuk publik, kita dukung dia. Kita kembali ke publik.
Publik itu yang kita bela, kita berpihak pada orang banyak,” kataku. Selama perjalanan baliho-baliho besar di beberapa simpang strategis telah dipenuhi oleh tampang-tampang politisi. Beberapa didesain bagus, beberapa hanya menjadi sampah visual, polusi pemandangan.
Bingung juga menentukan mana yang baik untuk publik. Ah, politik, terlalu banyak wilayah remang dan abu-abu. Retorika mentah para politisi itulah membuatnya begitu.
”Sudah cukup ya bahan untuk feature pekerja perempuan itu? Kalau bisa selesai ditulis hari ini, besok kita naikkan,” kataku. Nurikmal mengiyakan. Kami lalu bicara soal bagaimana memberitakan sidang yang digelar besok. Sidang pertama bagi AKBP Pintor, agendanya pembacaan dakwaan. Herman, manajer pemasaran kami masuk kantor dengan ekspresi tegang. ”Kita diteror lagi, Bang Dur!” katanya.
Ia tunjukkan foto-foto di ponselnya. Tumpukan koran puluhan koli di halaman percetakan. Seperti dilemparkan dengan buru-buru. Koran-koran kami yang beberapa waktu lalu hilang dari pasaran, diborong dari beberapa agen. Beberapa dicuri.
Koran-koran itu dilumuri darah. Saya tiba-tiba teringat pesan Pak Rinto: … turunkan sedikit tensi pemberitaanmu, kalau bisa, jangan menambah ketegangan. (*)
Komentar